Sejarah Kebaya, Pakaian Tradisional Jawa dalam Gerakan Kebaya Goes to Unesco
Sejarah Kebaya, pakaian Tradisional Jawa dalam gerakan Kebaya Goes to Unesco yang melakukan kegiatan rafting di Badung, Bali pada 27-28 Oktober 2022.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
Masyarakat Eropa di Indonesia tinggal jauh dari keramaian kota, dan menikmati kehidupan mewah mereka.
Mereka tinggal di Loji atau rumah besar, dan menikmati gaya hidup Eropa namun berpakaian layaknya orang Jawa.
Pakaian perempuan Eropa yang tinggal di Loji juga memiliki karakteristik yang sama dengan perempuan Jawa.
Namun perempuan Eropa memberikan aksen Barat, berupa penggunaan kain yang lebih berkualitas.
Pemilihan kain brokat dan bahan kain renda membuat busana Kebaya Jawa menjadi busana bergaya Eropa.
Baca juga: Forum Bhinneka Indonesia Dorong Kebaya Digunakan dalam Kegiatan Keseharian
Busana Kebaya untuk Semua Kalangan
Awal abad ke-20, muncul Politik Etis atau Cultuur Stelsel di Indonesia.
Munculnya Cultuur Stelsel juga dirasakan langsung oleh perempuan Tionghoa, khususnya untuk mengikuti tren Kebaya milik perempuan Eropa.
Busana Kebaya khas Tionghoa terbuat dari kain berwarna merah menyala, dengan hiasan sulam berbentuk bunga atau binatang sebagai perlambangan busana tradisional China.
Awal abad ke-20, busana Kebaya tampil sebagai perwakilan tiga etnis perempuan yaitu Jawa, Eropa, dan Tionghoa.
Kala itu, perempuan Eropa mulai mengalami krisis identitas sebagai perempuan Eropa namun ingin menyesuaikan diri dengan Kebaya.
Perempuan Eropa di perkotaan seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang enggan mengenakan Kebaya karena takut kehilangan jati diri sebagai orang Eropa.
Namun, ada juga perempuan Eropa yang masih mau mengenakan kebaya dan sarung sebagai bentuk dari kebudayaan setempat.
Di pedalaman Jawa, masih banyak perempuan Eropa yang mengenakan kebaya.