Galon PET Berpotensi Mengandung Etilen Glikol Penyebab Gagal Ginjal, BPOM Diminta Transparan
Belakangan cukup ramai pembicaraan zat kimia berbahaya etilen glikol dan dietile glikol yang diduga jadi penyebab kematian ratusan anak di Indonesia.
Penulis: Matheus Elmerio Manalu
Editor: Bardjan
TRIBUNNEWS.COM – Belakangan cukup ramai pembicaraan zat kimia berbahaya etilen glikol dan dietile glikol yang diduga jadi penyebab kematian ratusan anak di Indonesia akibat gagal ginjal akut.
Sebagai informasi, kedua zat ini ditemukan dalam sirup obat batuk yang pernah dikonsumsi oleh 244 anak Indonesia yang mengalami gagal ginjal akut.
Fenomena ini sontak membuat publik mengaitkannya dengan rencana BPOM yang berupaya mengeluarkan kebijakan pelabelan zat kimia Bisphenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon berbahan polikarbonat.
Sementara itu, muncul pertanyaan, mengapa kemasan plastik polyethylene terephthalate (PET) tidak dilabeli ‘Berpotensi Mengandung Etilen Glikol’? Sebagai informasi, plastik PET pun berpotensi mengandung etilen glikol.
Hal ini membuat Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait dan Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo pun mendesak BPOM untuk juga melabeli kemasan PET dengan label ‘Berpotensi Mengandung Etilen Glikol’.
Peristiwa keracunan Etilen Glikol dan Dietilen Glikol diyakini menyebabkan kematian lebih dari 100 anak, sementara tidak ada kasus kematian yang terjadi akibat paparan BPA.
Desakan itu juga berdasarkan pada Peraturan BPOM Nomor 20 tahun 2019 menyebutkan tentang risiko bahaya zat kimia dalam kemasan dan untuk kemasan plastik PET, seperti yang digunakan pada galon air minum sekali pakai, dengan potensi zat berbahaya yang terkandung di dalamnya, yakni etilen glikol dan dietilen glikol.
Beberapa pengamat nilai kebijakan pelabelan ini janggal
Beberapa pengamat kebijakan melihat preferensi BPOM terkait rencana pelabelan BPA menunjukkan kebijakan yang janggal dan diskriminatif, mengingat risiko bahaya etilen glikol dan dietilen gliko--yang telah memakan banyak korban--lebih berbahaya dibanding BPA.
Bahaya etilen glikol dan dietilen glikol yang digunakan pada proses pembuatan kemasan Plastik PET ini lebih nyata dibanding bahaya BPA yang belum ada kesepakatan bulat di antara para ahli.
“Kalau saya melihat memang ada gap atau semacam kesenjangan dimana kemudian saya melihat ini yang menjadi bagian dari pembenahan tata kelola BPOM, karena kan pada akhirnya publik juga yang jadi korban,” kata pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah di Jakarta, Jumat (21/10/2022).
Alasan BPOM ingin menyematkan label BPA dalam galon isi ulang lantaran diyakini bisa menyebabkan infertilitas, gangguan kesehatan pada janin, anak dan ibu hamil.
Namun, Trubus juga mengungkapkan BPOM belum melakukan penelitian spesifik terkait dampak tersebut. Sementara pelabelan ini didorong dengan hanya mengacu pada survei BPOM terhadap AMDK galon, baik di sarana produksi maupun peredaran.
BPOM juga mempertimbangkan tren pengetatan regulasi BPA di luar negeri tanpa melakukan penelitian khusus.
Trubus juga mengkritik sikap berbeda BPOM ketika disinggung keberadaan etilen glikol dalam air galon kemasan PET pada galon sekali pakai. BPOM hingga kini masih bungkam terkait hal tersebut.
Lembaga-lembaga dunia belum klasifikasikan BPA berbahaya
International Agency for Research on Cancer (IARC) yang berada di bawah naungan WHO juga belum mengklasifikasikan Bisfenol A (BPA) dalam kategori karsinogenik pada manusia.
Sementara acetaldehyde yang ada kemasan sekali pakai atau PET seperti yang ada pada galon sekali pakai justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik.
“Hingga sekarang, IARC, badan yang di bawah WHO masih mengkategorikan BPA masuk di grup 3, belum masuk di grup 2A atau 2B. Kalau acetaldehyde, justru masuk ke grup 2B itu sejak lama,” kata Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center, Dr. Nugraha E. Suyatma, STP, DEA, baru-baru ini.
Seperti diketahui, IARC mengklasifikasi karsinogenik ke dalam empat grup dengan kelompok 1, karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2A, kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia.
Kelompok 2B dicurigai berpotensi karsinogenik untuk manusia. Kelompok 3 tidak termasuk karsinogenik pada manusia. Kelompok 4 kemungkinan besar tidak karsinogenik untuk manusia.
“Jadi, dari sini juga FDA (The United States Food and Drug Administration) mengatakan tidak ada efek BPA atau paparan khusus. Levelnya pun rendah sehingga bisa dibatasi oleh upaya produsen untuk menghilangkan residu BPA yang tidak bereaksi dalam pembuatan plastik polikarbonat. Yakni, bisa dibuat menjadi sangat rendah dan mungkin bisa sampai ke level BPA free,” ungkapnya.
Dr. Nugraha E. Suyatma juga menyebut bahwa Otoritas Keamanan Makanan Eropa atau European Food Safety Authority (EFSA) belum yakin BPA berbahaya.
“Kemasan dengan PET juga ada kandungan asetaldehid, etilen glikol, antimon dan lain-lain yang juga bahan senyawa berbahaya,” pungkas Nugraha lagi.
Berbahayanya etilen glikol untuk tubuh manusia juga dijelaskan oleh Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Prof. apt Muchtaridi yang mengatakan etilen glikol mengalami oksidasi oleh enzim.
Menurutnya, ketika masuk ke dalam tubuh, senyawa ini mengalami oksidasi oleh enzim menjadi glikol aldehid, kemudian kembali dioksidasi menjadi asam glikol oksalat membentuk lagi asam oksalat yang dapat membentuk batu ginjal.
“Asam oksalat kelarutannya kecil, kalau ketemu kalsium akan terbentuk garam yang sukar larut dalam air dan larinya akan ke organ seperti empedu dan ginjal. Jika lari ke ginjal, kristalnya tajam dan akan mencederai ginjal,” ungkao Muchtaridi, seperti dikutip dari laman unpad.ac.id.
Jika kondisi tersebut terjadi pada anak-anak yang punya ukuran ginjal lebih kecil, dampak yang ditimbulkan akan parah. Bukan hanya memapar di ginjal, efeknya akan merembet ke jantung dan memicu kematian yang cepat.
BPOM didesak lakukan penelitian lebih lanjut
Melihat urgensi dari kenyataan tersebut, Komnas Anak dan Anggota Komisi IX DPR RI terus mendesak BPOM untuk melakukan penelitian khusus terhadap kemasan pangan berbahan etilen glikol ini.
Arist bahkan meminta BPOM memberikan peringatan berupa pelabelan berpotensi mengandung etilen glikol terhadap kemasan-kemasan pangan berbahan etilen glikol.
“Karena itu, saya kira BPOM perlu melakukan penelitian terhadap produk-produk yang mengandung etilen glikol itu, seperti pada air minum kemasan galon sekali pakai,” kata Arist.
Menurutnya, penelitian itu wajib dilakukan negara, dalam hal ini pemegang regulasi Badan POM , supaya jauh-jauh sebelumnya bisa diantisipasi agar masyarakat memahami betul bahaya etilen glikol itu.
“Karena plastik-plastik yang dipakai seperti galon sekali pakai, ketika dia mengandung etilen glikol maka isi dari kemasan itu bisa bermigrasi dan berbahaya bagi kesehatan anak,” ujarnya.
Arist menegaskan Komnas Anak sangat mengkhawatirkan terhadap air minum atau makanan yang berbahaya bagi anak-anak, seperti etilen glikol yang disebutkan bisa mengakibatkan gagal ginjal.
Pernyataan senada juga diungkapkan Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo yang juga meminta BPOM melakukan penelitian ulang terhadap semua kemasan pangan yang diduga mengandung bahan etilen glikol.
“Terhadap kemasan pangan yang mengandung etilen glikol, karena itu bisa menyebabkan bahaya kesehatan pada anak-anak seperti yang terjadi di Gambia, BPOM perlu melakukan suatu kajian atau penelitian lagi untuk mengetahui kadar etilen glikol di dalam produknya,” ujarnya.
Data-data empiris, menurut Rahmad, harus dilakukan termasuk penyebab anak-anak kita yang tengah mengalami gangguan penyakit ginjal akut.
“Jadi, saya kira hal-hal yang menyangkut itu tidak salah BPOM melakukan satu kajian yang melibatkan peneliti dari universitas yang sangat berkompeten,” pungkasnya.