Jaksa Semprot Mantan Karyawan ACT agar Bicara Jujur soal Awal Mula jadi Pengelola Dana Donasi Boeing
Faisol mendapat teguran dari jaksa agar dapat berbicara jujur sebagaimana yang diketahui soal kasus tersebut.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan mantan Karyawan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Mohammad Faisol Amrullah dalam sidang dugaan penyelewengan dana donasi dari Boeing Community Investment Fund (BCIF).
Faisol dihadirkan dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk terdakwa mantan pendiri sekaligus Presiden ACT Ahyudin di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Dalam sidang, Faisol mendapat teguran dari jaksa agar dapat berbicara jujur sebagaimana yang diketahui soal kasus tersebut.
Mulanya, jaksa menanyakan soal proses kenapa ACT bisa mendapatkan 'proyek' donasi atau mengelola dana donasi dari BCIF.
"ACT tahu darimana ada dana BCIF?" tanya jaksa dalam persidangan, Selasa (22/11/2022).
"Dari Feinberg," jawab Faisol.
Sebagai informasi, Feinberg merupakan orang yang ditunjuk oleh BCIF sebagai administrator untuk menentukan program atau proyek yang didanai oleh BCIF.
Dari situ, jaksa menanyakan kepada Faisol, apa yang diinfokan oleh Feinberg saat itu.
"Langsung? bunyinya apa? intinya saja," kata jaksa.
"Bahwa ACT telah direkomendasikan beberapa ahli waris untuk mengelola dana BCIF," kata Faisol.
Kata Faisol, mulanya hanya ada 2 ahli waris korban pesawat jatuh Lion Air JT610 yang sepakat kalau ACT menjadi pihak ketiga yang mengelola dana donasi dari BCIF.
Namun, beriringnya waktu, jumlah tersebut bertambah menjadi sembilan ahli waris.
"Dua orang ahli waris?" tanya jaksa.
"Betul, kemudian sembilan," jawab Faisol.
"Kemudian 9, itu berdasarkan Feinberg?" tanya jaksa yang langsung dijawab "betul" oleh Faisol.
Baca juga: Saksi Sebut ACT Hanya Salurkan Rp 900 Juta dari Dana Sosial Ahli Waris Korban Lion Air 2 Miliar
Jumlah tersebut, kembali bertambah hingga akhirnya ada 69 ahli waris yang sepakat agar ACT menjadi pihak yang mengelola dana donasi tersebut.
Namun, keterangan dari Faisol soal bertambahnya jumlah tersebut tidak bisa dimengerti oleh jaksa.
"Kemudian jadi 69, 60 tambahan gimana caranya, apakah memang masyarakat korban menghubungi ACT atau ACT yang menghubungi ahli waris korban?" tanya lagi jaksa.
Mendengar pertanyaan itu, Faisol terdiam dan menanyakan kembali maksud pertanyaan dari jaksa.
"Lah, kan tadi berdasarkan email Feinberg awalnya 2, disuruh tambah 7, jadi 9 berdasarkan email Feinberg. ternyata pertanyaan dari majelis hakim dan JPU tadi ada 69 artinya ada 60 ahli waris yang menambah ke ACT, yang menunjuk ini dari Feinberg juga atau ahli waris yang menunjuk ACT langsung atau bagaimana atau ACT, gimana?" tanya jaksa lagi.
"Terima kasih, Feinberg punya kewenangan mutlak untuk memutuskan dan formulir dari ahli waris...," ucap Faisol yang langsung disela oleh jaksa.
"Iya, yang saya tanyakan kok bisa bertambah, apakah ahli waris menunjuk ACT atau ACT yang menghubungi ahli waris, atau Feinberg yang hubungi ACT, kan saksi yang berhubungan dengan Feinberg?" tanya lagi jaksa.
"Ahli waris yang memilih ACT," jawab lagi Faisol.
"Tahu dari mana?" cecar jaksa.
"Ada email," timpal Faisol.
Mendengar jawaban itu, jaksa menegur Faisol untuk berkata jujur sesuai dengan apa yang diketahui.
Sebab, sebelum persidangan dimulai, Faisol sudah diambil sumpahnya oleh majelis hakim.
Baca juga: Fakta Sidang Dakwaan Bos ACT: Pasal Pencucian Uang Hilang hingga Gaji Petinggi Capai Rp 100 Juta
"Saudara saksi saya ingatkan Saudara saksi sudah disumpah sebelum persidangan. bisa pastikan ahli Waris yang menunjuk ACT atau gimana, kalau tidak tahu bilang tidak tahu," semprot jaksa.
"Saya tidak tahu," jawab Faisol.
Mendapati jawaban itu, lantas jaksa kembali melanjutkan rentetan pertanyaannya termasuk soal siapa saja yang berhubungan dengan Feinberg.
"Yang berhubungan dengan Feinberg ada lagi gak selain saksi?" tanya jaksa.
"Tidak ada," jawab Faisol.
"Email untuk berhubungan?" tanya lagi jaksa.
"Email resmi saya dari ACT," tukas Faisol.
Dakwaan Jaksa
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU), Ahyudin melakukan penggelapan dana donasi itu bersama Presiden ACT, Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain selaku Dewan Pembina ACT.
"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, barang tersebut ada dalam kekuasaannya karena ada hubungan kerja atau karena pencahariannya atau karena mendapat upah untuk itu," kata Jaksa di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/11/2022).
Jaksa menyebut perkara ini bermula pada tanggal 29 Oktober 2018, maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan 610, dengan pesawat Boeing 737 Max 8, telah jatuh setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta, Indonesia.
Kejadian tersebut mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia.
"Atas peristiwa tersebut Boeing menyediakan dana sebesar USD 25.000.000 sebagai Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) untuk memberikan bantuan finansial yang diterima langsung oleh para keluarga (ahli waris) dari para korban kecelakaan Lion Air 610," ucap Jaksa.
"Selain itu Boeing juga memberikan dana sebesar USD 25.000.000 sebagai Boeing Community Investment Fund (BCIF) yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan," sambungnya.
Namun, uang donasi BCIF tersebut tidak langsung diterima oleh ahli waris, namun diterima oleh organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban.
ACT, sebagai pihak ketiga mengaku ditunjuk langsung oleh Boeing untuk menjadi lembaga pengelola dana donasi BCIF tersebut
Dalam perjalanannya, ACT meminta pihak keluarga korban menyetujui dana sosial BCIF sebesar USD 144.500 atau senilai Rp2 miliar per ahli waris dengan total dana sekitar Rp138 miliar dari Boeing.
Namun, uang donasi BCIF tersebut digunakan oleh terdakwa Ahyudin bersama Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain sebesar Rp117 miliar bukan untuk peruntukannya.
"Telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp 117.982.530.997,diluar dari peruntukannya yaitu untuk kegiatan di luar implementasi Boeing adalah tanpa seizin dan sepengetahuan dari ahli waris korban kecelakaan Maskapai Lion Air pesawat Boeing 737 Max 8 maupun dari pihak Perusahaan Boeing sendiri," ucap Jaksa.
Atas perbuatannya, para terdakwa didakwa pasal 374 subsider 372 KUHP juncto pasal 55 ayat ke 1 ke 1 KUHP soal Tindak Pidana Penggelapan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.