KPK Tak Khawatir KUHP Baru Ringankan Hukuman Koruptor: Kita Punya UU Tersendiri
Pasalnya, dikatakan Ketua KPK Firli Bahuri, pihaknya memiliki UU tersendiri yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengkhawatirkan perihal ada pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang meringankan hukuman terhadap para koruptor.
Pasalnya, dikatakan Ketua KPK Firli Bahuri, pihaknya memiliki UU tersendiri yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019.
"Jadi kita tidak ada kekhawatiran, boleh saja silakan ada pasal-pasal tertentu yang mengatur tentang bisa yang disebut korupsi di KUHP, tapi kita punya UU tersendiri tentang tindak pidana korupsi dan itu kita punya kewenangan," kata Firli dalam keterangannya, Kamis (8/12/2022).
"Tidak mengganggu terkait dengan penegakan hukum khususnya pemberantasan tipikor," ia menekankan.
Berdasarkan pengamatan Firli, Pasal di KUHP terbaru yang mengatur tentang tindak pidana korupsi menyerahkan juga kewenangan sepenuhnya kepada KPK.
Sebab, KPK juga memiliki aturan hukum tersendiri dalam penegakan hukum yakni UU tentang tindak pidana korupsi.
"KPK berlandaskan pada UU 30 tahun 2002 yang telah diubah menjadi UU 19/2019 dan juga KPK diberikan mandat di situ di dalam Pasal 14 UU Tipikor disebutkan bahwa setiap UU yang melanggar ketentuan UU yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan UU tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur UU ini," jelasnya.
Dalam KUHP terbaru, tindak pidana korupsi diatur pada Pasal 603.
Baca juga: KPK Belum Mau Respons Ihwal RKUHP yang Turunkan Hukuman Koruptor
Pada pasal tersebut dijelaskan koruptor paling sedikit dipenjara selama 2 tahun dan maksimal 20 tahun.
Selain itu, koruptor juga dapat dikenakan denda paling sedikit kategori II atau Rp10 juta dan paling banyak Rp2 miliar. Berikut bunyi pasal tersebut:
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI."
Pidana penjara pada KUHP itu lebih rendah atau mengalami penurunan dari ketentuan pidana penjara dalam Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada Pasal 2 UU tersebut dijelaskan koruptor bisa mendapat pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Tidak hanya itu, hukuman denda bagi koruptor di KUHP pun mengalami penurunan.
Sebelumnya, dalam UU No 20/2001 koruptor didenda paling sedikit Rp200 juta. Berikut bunyi Pasal 2:
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah."
Lebih lanjut, KUHP juga mengatur soal suap pada Pasal 605.
Ketentuan pidana penjara sama dengan UU 20/2001, tetapi denda bagi pemberi suap mengalami kenaikan.
Pada pasal tersebut dikatakan bahwa orang yang melakukan suap terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara paling singkat dapat dipenjara 1 tahun dan paling lama 5 tahun.
Selain itu, denda paling sedikit kategori III yakni Rp50 juta dan maksimal kategori V atau Rp500 juta.
Pasal 605 Ayat 1: "Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V."
Sementara itu, dalam Pasal 5 UU Nomor 20/2001 dikatakan bahwa pemberi suap dapat didenda paling banyak Rp250 juta.
"Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)," bunyi Pasal 5.