Daftar Poin Kontroversial di Perppu Cipta Kerja yang Meresahkan: Upah Minimum hingga Libur Karyawan
Said Iqbal menyebut sebagian besar pasal dalam klaster ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja tak ada bedanya dengan UU Omnibus Law.
Editor: Malvyandie Haryadi
b. istirahat mingguan I (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Aturan tersebut menandakan hak libur pekerja yang sebelumnya mengatur dua hari dalam seminggu dihapus, sebagaimana tertera dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Meski begitu, Perppu Cipta Kerja tetap memungkinkan pekerja mendapat libur dua hari, sebagaimana tertera dalam Pasal 77 mengenai waktu kerja, yakni 7 jam atau 8 jam sehari.
Akan tetapi, tak ada penjelasan lebih lanjut soal sektor usaha yang dimaksud, hanya menyebut bahwa hal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 77 ayat (2)
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi;
(a) tujuh jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam satu minggu, atau
(b) delapan jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu," demikian bunyi Pasal 77 ayat (2).
Aturan tersebut memungkinkan pekerja bisa mendapat waktu libur dua hari dalam sepekan, tergantung jam kerjanya.
"Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja," tulis Pasal 77 ayat (1)."
Selanjutnya, Pasal 77 ayat (3) menjelaskan ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
Akan tetapi, tak ada penjelasan lebih lanjut soal sektor usaha yang dimaksud, hanya menyebut bahwa hal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Said Iqbal mengatakan sejumlah organisasi buruh sedang mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum berupa gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi jika langkah-langkah aksi demontrasi dan lobi ke pemerintah gagal.
Mereka, tuturnya, masih berharap pemerintah memasukkan usulan-usulan buruh dalam peraturan turunan yakni PP.
"Intinya KSPI dan kelompok buruh menolak isi Perppu yang masih jauh dari harapan dan agar bisa diubah sesuai hasil pembicaraan antara KSPI dan Kadin beberapa waktu lalu."
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto selaku Ketua Komite Cipta Kerja, menyebut Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja lahir karena kebutuhan yang mendesak.
Airlangga menjelaskan, tantangan geopolitik akibat konflik Ukraina dan Rusia serta konflik lainnya yang masih terjadi menyebabkan berbagai negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim sangat nyata.
Bahkan beberapa negara sedang berkembang tengah meminta bantuan pendanaan kepada International Monetary Fund (IMF) untuk menghadapi tekanan global saat ini, sambung Airlangga.
Pakar Hukum Sebut Tindakan Inkonstitusional
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Padang Feri Amsari menilai pemerintah melalui tindakan inkonstitusional, yakni menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Cipta Kerja.
Sebab sebelumnya mahkamah konstitusi (MK) sudah menyatakan bahwa undang-undang (UU) Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan diminta melakukan perbaikan selama dua tahun.
"Jadi ini memang upaya melanggar putusan MK. Jelas ini tindakan inkonstitusional," kata Feri kepada Tribunnews.com, Senin (2/1/2023).
Feri lalu mempersoalkan ketika pemerintah mempersilakan pihak yang menolak Perppu tersebut menggugat ke MK.
"Kenapa? Karena MK sudah dirombak orang yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sudah diberhentikan secara mendadak dan tiba-tiba. Jadi ini menurut saya tidak sehat," ujarnya.
Menurutnya dalam Pasal 22 ayat UUD disebutkan sarat sebuah Perppu diterbitkan apabila ada kegentingan memaksa.
Feri menjelaskan keadaan kegentingan memaksa syaratnya ada tiga berdasarkan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
"Satu ada masalah hukum yang butuh ditangani sesegera mungkin yang mendesak untuk diselesaikan," ucap Feri.
Kedua, ada hukum tetapi tidak menyelesaikan masalah atau kekosongan hukum. Ketiga, butuh proses yang cepat untuk menghasilkan produk hukum.
"Tiga hal itu tidak menggambarkan Perppu Cipta Kerja, karena dalam putusan MK 91 UU Cipta Kerja itu harus diperbaiki dalam dua tahun," ungkap Feri.
Feri menegaskan rentang waktu dua tahun tersebut membuktikan jika penerbitan Perppu bukan hal yang mendesak.
"Jadi alasan bahwa Perppu ini lahir karena desakan ekonomi global, perang Rusia-Ukraina tidak cukup memadai untuk dikatakan sebagai hal ihwal kegentingan memaksa berdasarkan putusan MK," jelas dia.
Karenanya, ia menganggap Perppu ini diterbitkan terkesan dipaksakan agar UU Cipta Kerja bisa berlaku, terutama waktu perbaikannya sudah sangat dekat.