Pakar Hukum: Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Tetap Konstitusional & Terjamin Derajat Demokratis
Menurut dia, secara teoritik, dengan sistem tertutup itu dapat memperkuat sistem Presidensialisme. Ini alasannya.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
Fahri Bachmid yang juga sebagai Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi dan Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (PaKem FH-UMI) ini berpendapat bahwa secara teoritik, sesungguhnya tidak ada model sistem pemilu yang ideal di dunia ini, yang ada hanyalah sebuah sistem pemilu yang tepat.
"Dan yang paling cocok di satu negara tertentu dengan corak politik, kultur-budaya serta keadaan demografi setempat yang tentunya tidak sama antara negara yang satu dengan yang lainya."
Secara akademis, sesungguhnya tidak ada satu pun sistem pemilu yang mampu memenuhi semua kebutuhan politik nasional atau semua kepentingan kelompok
"Interest Group" politik tertentu, yang dapat dirancang adalah mengkonstruksikan "manageable"
sebuah sistem pemilu yang tepat sesuai dengan kebutuhan kondisi, baik secara historis, sosiologis, dan politis daripada suatu masyarakat beradab.
Fahri Bachmid mengatakan bahwa proyeksi membangun sistem pemilu yang kredible serta futuristik untuk 2024 adalah harus mampu meningkatkan derajat representasi dan akuntabilitas anggota DPR.
Kemudian, tambahnya, memastikan sistem pemilu harus mampu menghasilkan produk sistem kepartaian dengan jumlah partai sederhana, serta sistem pemilu harus mudah diselenggarakan serta ekonomis, serta mampu mengeleminir praktek politik transaksional.
Berdasarkan hal tersebut, menurutnya, maka opsi proporsional tertutup adalah sebuah keniscayaan konstitusional.
Fahri Bachmid menguraikan bahwa sistem dengan "Close List Propotional" atau sistem proposional tertutup pada prinsipnya telah sejalan dengan spirit demokrasi yang dianut dalam UUD NRI Tahun 1945, yang berorientasi agar mendorong peningkatan peran partai politik dalam kaderisasi sistem perwakilan.
Kemudian mengakselarasi institusionalisasi partai politik, menjadikan simplifikasi penilaian kinerja partai politik oleh publik; serta mereduksi politik uang kepada masyarakat serta korupsi politik, dan secara "vice versa" sesungguhnya "Open List Propotional" atau Proposional Terbuka cenderung menyuburkan demokrasi liberal serta berwatak oligarkis,diwarnai kekisruhan, Praktek kotor politik serta "Vote Buying"dan kecurangan sistemik dalam bentuk lainnya.
Menurut Fahri Bachmid, secara konstitusional, "Close List Propotional" atau sistem proposional tertutup sesungguhnya telah senafas dengan ketentuan norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, yang mengatur bahwa "Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik", jadi basis legal konstitusional dari pelaksanaan sistem Pemilu untuk anggota DPR/DPRD pesertanya adalah partai politik, berbeda dengan ketentuan norma Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 untuk memilih anggota DPD RI, yang mengatur bahwa "Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan".
"Kalau untuk memilih calon anggota DPD RI basisnya adalah perseorangan, jika nantinya pemohon berhasil membuktikan dengan bangunan argumentasi konstitusionalnya yang kuat terkait kerugian jika tidak menerapkan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu, dan Mahkamah Konstitusi memutus sesuai dalil permohonan pemohon agar sistem Pemilu dilaksanakan dengan proporsional tertutup."
“Secara teknis salah satu upaya Pembentuk UU kedepannya adalah agar UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dapat dilakukan amandemen untuk mengatur semacam pranata Pemiliham pendahuluan atau mekanisme kandidasi pada internal partai politik agar mengakomodasi kaidah serta prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik secara bermakna, agar tercipta kematangan berdemokrasi yang sejalan dengan nilai-nilai pancasila serta demokrasi konstitusional yang kita anut,” jelas Fahri Bachmid.