Soal Sistem Pemilu Terbuka Tertutup, Pakar : Perubahan Seharusnya Melalui Diskusi di DPR Bukan MK
Aditya Perdana menilai tidak tepat jika Mahkamah Konstitusi (MK) menentukan sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Eko Sutriyanto
Untuk diketahui, gugatan soal wacana sistem pemilu proporsional tertutup diajukan oleh enam orang, yakni dua kader partai politik (parpol) dan empat perseorangan.
Mereka adalah Pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono, anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Baca juga: Pengamat Sebut Penyuka Ridwan Kamil Akan Hijrah Dukung Golkar di Pemilu 2024
Para pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Jika judicial review itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Di sisi lain, sebanyak 8 parpol di parlemen dan PSI tidak mendukung uji materi tersebut karena mereka memilih tetap menerapkan sistem proporsional terbuka.
Partai Nasdem, PKS dan PSI telah mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi tersebut. Sementara PDIP dan Partai Bulan Bintang (PBB) mendukung sistem proporsional tertutup. PBB juga sudah mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi tersebut.
Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti Pileg.