Sawit Watch Menilai Pemerintah Lamban Menangani Kasus Hilangnya 8.610 Ha Hutan Negara di Kotabaru
Sawit Watch menilai pemerintah lamban dalam menangani kasus hilangnya 8.610 hektare hutan negara di Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sawit Watch menyoroti penanganan perkara hilangnya hutan negara seluas 8.610 di Kotabaru, Kalimantan Selatan, yang dilakukan lima instansi pemerintahan.
Diketahui, lima instansi yang telah disambangi Sawit Watch untuk melaporkan kasus ini, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, Kementerian Lingkungah Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian ATR/BPN.
Adapun dalam pelaporan ini, Sawit Watch didampingi Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity).
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo mengatakan, negara dalam hal ini kelima instansi tersebut, harus menangani permasalahan hilangnya hutan negara ini secara serius.
Baca juga: Distamhut DKI Harap Penghijauan Hutan Kota Pulo Gebang Berdampak Positif ke Masyarakat Setempat
"Fakta hukum maupun fakta lapangan sudah sangat jelas, bahkan sebelumnya ada pendapat dari KLHK bahwa kerja sama PT Inhutani II dengan PT MSAM yang berada pada areal kerja IUPHHK-HA PT Inhutani di Areal Penggunaan Lain ini tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," kata Rambo, dalam keterangan pers tertulis, Selasa (31/1/2023).
Meski dimikian, Rambo menyebut, laporan-laporan kasus ini tidak kunjung ditangani oleh kelima instansi negara itu.
Terkait hal itu, Rambo menduga, ada kekuatan besar di balik kasus ini. Sehingga negara tidak mampu melakukan penegakan hukum.
"Jangan sampai ada dugaan yang aneh-aneh dari publik. Apa ada sesuatu kekuatan besar di balik ini sehingga negara tidak mampu melakukan penegakan hukum?" tegas Rambo.
Denny Indrayana menjelaskan, laporan ini sudah satu tahun disampaikan. Namun penanganannya terkesan stagnan dan terhambat.
"Sehingga, wajar bila muncul asumsi bahwa aparat penegak hukum 'ogah-ogahan' menangani laporan," katanya.
Menurutnya, penting bagi masyarakat sipil untuk terus memperjuangkan amanah Pasal 33 UUD 1945, di mana sumber daya alam harus digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Denny menyebut, kekuatan oligarki seringkali menanamkan saham untuk dua kepentingan, yakni dividen politik dan tameng kasus hukum.
"Akibatnya, kebijakan pengelolaan sumber daya alam hanya memikirkan profit untuk kelompok privat, jauh dari kepentingan publik. Ini yang harus terus kita lawan dan perjuangkan dengan konsisten," kata Guru Besar Hukum Tata Negara itu.
Baca juga: 8.610 Hektare Hutan Negara di Kotabaru Kalsel Diduga Diserobot Jadi Kebun Sawit