Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Bharada E Merasa Diperalat, Disia-siakan hingga Dibohongi Ferdy Sambo dan Kejujurannya Tak Dihargai

Richard Eliezer yang juga dikenal publik sebagai Bharada E setelah kasus ini mendapatkan sorotan mengaku sangat percaya dengan atasannya itu

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Bharada E Merasa Diperalat, Disia-siakan hingga Dibohongi Ferdy Sambo dan Kejujurannya Tak Dihargai
Kolase Tribunnews.com (Tangkap layar kanal YouTube Kompas TV-Tribunnews)
Ibunda dan ayahanda Richard Eliezer, ynecke Alma Pudihang dan Yunus Lumiu saat hadir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (2/2/2023)-Richard Eliezer atau Bharada E. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jumat ini merupakan H-12 jelang sidang vonis terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu terkait kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Ini berarti kurang dari dua pekan, Richard Eliezer akan mendengarkan vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim dalam sidang yang dijadwalkan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu, 15 Februari 2023.

Sebelumnya, Richard Eliezer tampak sangat emosional saat membacakan nota pembelaan atau pledoinya.

Terutama terkait 'tugas yang akhirnya mengantarkannya menyandang status terdakwa ini'

Ia menjelaskan bahwa usia mudanya ternyata harus 'dijalani sia-sia' hanya karena terlalu polos menuruti perintah Ferdy Sambo, mantan atasannya yang saat itu merupakan Jenderal bintang dua di institusi Polri.

Richard Eliezer yang juga dikenal publik sebagai Bharada E setelah kasus ini mendapatkan sorotan, mengaku sangat percaya dengan atasannya itu.

Baca juga: Jelang Sidang Vonis, Pihak Bharada E Harap Ada Penghapusan Pidana, Keluarga Berserah Diri pada Tuhan

Ia menyadari bahwa dirinya merupakan seorang prajurit berpangkat rendah yang berusaha untuk mengabdi secara tulus.

Berita Rekomendasi

Namun ketulusannya itu disalahgunakan oleh sang atasan yang ia sebut telah memperalat, membohongi dan menyia-nyiakan dirinya.

"Di usia saya ini, tidak pernah terpikirkan, ternyata oleh atasan, di mana saya bekerja memberikan pengabdian, kepada seorang Jenderal berpangkat bintang dua yang sangat saya percaya dan hormati, di mana saya yang hanya seorang prajurit rendah berpangkat Bharada yang harus mematuhi perkataan dan perintahnya, ternyata saya diperalat, dibohongi dan disia-siakan," tegas Richard Eliezer dalam pledoinya.

Ia pun merasa sakit hati karena kejujurannya tidak dihargai, bahkan dirinya kini dipandang seperti musuh.

"Bahkan kejujuran yang saya sampaikan tidak dihargai, malahan saya dimusuhi," jelas Richard Eliezer.

Posisi Rendah Tak Bisa Tolak Perintah

Sementara Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Romo Franz Magnis Suseno menyoroti nota pembelaan atau pledoi terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang ditolak Jaksa Penuntut Umum (JPU) melalui replik.

Dalam repliknya, JPU mengabaikan peran Richard sebagai Justice Collaborator (JC) terkait kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Romo Magnis menjelaskan bahwa 'posisi kecil' Richard dalam institusi yang telah lama memegang budaya 'perintah harus dilaksanakan', membuatnya tidak bisa menolak.

Terlebih perintah itu berasal dari atasannya yang merupakan seorang Jenderal polisi sehingga Richard pun harus menuruti perintah 'tanpa boleh' mempertanyakan perintah tersebut.

Menurut Romo Magnis, yang ada di benak Richard Eliezer saat itu adalah 'melaksanakan' apa yang telah diperintahkan padanya.

"Dalam budaya (perintah harus dilaksanakan) itu, lalu Eliezer mendapat perintah keras bukan dari atasan kecil langsung, tetapi dari seorang jenderal polisi yang amat kuat, yang tentu saja oleh orang seperti Eliezer tidak boleh dipertanyakan sama sekali, 'laksanakan' itu (perintah) yang ia tangkap," kata Romo Magnis, dalam tayangan Kompas TV, Kamis (2/2/2023).

Romo Magnis pun tidak bisa menilai apakah terdapat ancaman dalam perintah itu atau tidak.

Karena mungkin saja Richard hanya memiliki sedikit waktu bahkan 10 detik saja untuk bisa menyatakan kesediaannya.

"Jadi ia sendiri diancam atau tidak, saya tidak bisa menilai itu. Itu dalam waktu yang sangat singkat, barangkali hanya 10 detik yang tersedia," jelas Romo Magnis.

Menurut Romo Magnis, saat itu Richard bukan merupakan pihak yang memiliki kuasa untuk dapat mempertimbangkan tawaran eksekusi itu karena hanya memiliki waktu yang sangat sempit.

Baca juga: Tangis dan Harapan Ibunda Bharada E Jelang Vonis Kasus Kematian Brigadir J: Semoga yang Paling Baik

"Eliezer tidak bisa mengatakan 'maaf pak, saya mau pikir dulu. maaf pak, saya mau bicara dulu dengan seseorang', non sense, di situ situasi dia harus memutuskan laksanakan atau tidak," tegas Romo Magnis.

Richard Eliezer, kata Romo Magnis, merupakan 'orang kecil' yang tidak dapat melawan perintah, terlepas dari benar atau tidaknya perintah tersebut.

"Ia orang kecil, ia juga tidak dalam situasi menilai apakah perintah ini betul, lalu dia melaksanakan. Itu dalam pandangan saya," papar Romo Magnis.

Romo Magnis pun mengakui bahwa apa yang dilakukan Richard dengan menembak Brigadir J adalah salah, namun dirinya meminta Majelis Hakim memperhatikan 'posisi Richard Eliezer'.

"Meskipun yang dilakukan Eliezer jelas salah, kebersalahan pribadi, kebersalahan dalam arti moral maupun dalam arti hukum adalah sangat terbatas, sebetulnya pandangan saya mendekati zero mendekati kosong," tutur Romo Magnis.

Ia kembali menegaskan bahwa aparat berusia muda dan berpangkat jauh lebih rendah di bawah Ferdy Sambo itu tidak bisa mengatakan 'tidak' saat diperintah oleh seseorang yang memiliki pangkat tinggi.

Budayawan Romo Magnis Suseno
Budayawan Romo Magnis Suseno (Rizal Bomantama)

Termasuk jika perintah tersebut merupakan sesuatu yang tidak benar.

"Harapan apa dari seorang yang berumur 24 tahun dapat perintah seperti itu, harus langsung dilaksanakan, dia laksanakan. Menurut saya itu salah, tapi bagaimana bisa diharapkan dia melihat (sisi yang salah saat mendapatkan perintah) itu," pungkas Romo Magnis.

Ibunda Berharap Putranya Dihukum Ringan

Ibunda terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E, Rynecke Alma Pudihang, mengutarakan harapan atas vonis terhadap anaknya dalam perkara tewasnya Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J. 

Saat ditanyakan harapan vonis bebas untuk Bharada E, Rynecke mengaku hanya berserah diri kepada Tuhan.

"(Harapan vonis bebas) kalau Tuhan berkenan, semua pasti terjadi," kata Rynecke saat ditemui awak media di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (2/2/2023).

Rynecke tidak menyampaikan secara langsung soal harapan anaknya bebas.

Dia hanya berharap majelis hakim PN Jakarta Selatan dapat menjatuhkan putusan paling ringan untuk Bharada E.

"Yang terbaik. Menunggu dari hakim tapi semoga yang paling baik, seringan-ringannya," ujar Rynecke.

Sebagai informasi, kedua orang tua Bharada E yakni Yunus Lumiu dan Rynecke Alma Pudihang hadir langsung dalam sidang, Kamis (2/2/2023) di ruang utama PN Jakarta Selatan.

Adapun sidang pada hari ini beragendakan pembacaan duplik atas replik jaksa penuntut umum (JPU).

Bharada E Dituntut 12 Tahun Bui

Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut pidana kepada terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J yakni Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E.

Dalam sidang tuntutan yang dibacakan pada Rabu (18/1/2023), Richard Eliezer alias Bharada E dituntut pidana 12 tahun penjara.

"Mohon agar majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu 12 tahun penjara dikurangi masa tahanan," kata jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Jaksa menyatakan, perbuatan terdakwa Bharada E terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan terhadap seseorang secara bersama-sama sebagaimana yang didakwakan.

Dalam tuntutannya jaksa menyatakan, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E bersalah melanggar Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan primer.

"Menyatakan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu sebagaimana yang diatur dan diancam dalam dakwaan pasal 340 juncto pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP," kata jaksa.

Agenda Sidang 

Dalam sidang lanjutan yang digelar Kamis kemarin, terdakwa Richard Eliezer dan Putri Candrawathi telah menyampaikan duplik melalui tim Penasihat Hukum mereka untuk menanggapi replik JPU yang menolak pledoi mereka.

Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso akan membacakan putusan atau vonis bagi 5 terdakwa pada dua pekan mendatang.

Para terdakwa itu adalah Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, Kuat Maruf dan Richard Eliezer.

Khusus untuk Kuat Maruf dan Ricky Rizal, Majelis Hakim menjadwalkan sidang vonis digelar pada Selasa, 14 Februari 2023, tepatnya pada momen perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine).

Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir N Yosua Hutabarat, Richard Eliezer atau Bharada E menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Rabu (25/2/2023). Pada sidang tersebut Richard Eliezer membacakan nota pembelaan atau pledoi. Tribunnews/Jeprima
Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir N Yosua Hutabarat, Richard Eliezer atau Bharada E menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Rabu (25/2/2023). Pada sidang tersebut Richard Eliezer membacakan nota pembelaan atau pledoi. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

"Setelah mendengarkan duplik dari Penasihat Hukum terdakwa (Ricky Rizal), tiba lah Majelis Hakim akan mengambil putusan. Putusan akan kami bacakan pada Selasa 14 Februari," kata Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso, dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (31/1/2023) kemarin.

Sedangkan pelaku utama atau aktor intelektual dalam kasus ini yakni Ferdy Sambo akan menjalani sidang vonis pada Senin, 13 Februari 2023, begitu pula dengan sang istri, Putri Candrawathi.

Sementara itu Richard Eliezer akan menghadapi sidang vonis pada 15 Februari 2023.

Dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (31/1/2023), terdakwa Ferdy Sambo telah menjalani sidang duplik.

Kemudian pada Jumat (27/1/2023) lalu, terdakwa Ferdy Sambo telah menjalani sidang replik yang berisi penolakan JPU terhadap pledoi dirinya.

Lalu pada Senin (30/1/2023), terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu menjalani sidang replik yang berisi jawaban dari JPU terhadap permintaan terdakwa Richard untuk bebas dari segala tuntutan.

Pada hari yang sama pula, terdakwa Putri Candrawathi pun menjalani sidang replik.

Sementara itu dalam sidang lanjutan yang digelar pada 17 Januari lalu, JPU menuntut Ferdy Sambo dengan hukuman pidana penjara seumur hidup.

Ferdy Sambo pun telah menyampaikan nota pembelaan atau pledoi pada 24 Januari lalu.

Lalu untuk tuntutan yang diajukan JPU terhadap istri Ferdy Sambo yakni Putri Candrawathi pada 18 Januari lalu adalah pidana 8 tahun penjara.

Sedangkan Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang juga berstatus sebagai Justice Collaborator, pada hari yang sama JPU mengajukan tuntutan hukuman pidana 12 tahun penjara.

Baik Putri Candrawathi maupun Richard Eliezer telah menyampaikan pledoi pada 25 Januari lalu.

Sementara pada 16 Januari lalu, Ricky Rizal dan Kuat Maruf dituntut dengan tuntutan pidana 8 tahun penjara, keduanya juga telah menyampaikan pledoi pada 24 Januari lalu.

Lima terdakwa pun menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga Brigadir J saat persidangan berlangsung.

Sebelumnya, sidang perdana kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J juga telah digelar pada Senin (17/10/2022), yang mengagendakan pembacaan dakwaan untuk tersangka Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, serta ajudan mereka Ricky Rizal dan Asisten Rumah Tangga (ART) Kuat Maruf.

Kemudian pada Selasa (18/10/2022), terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu menjalani sidang perdananya sebagai Justice Collaborator dengan agenda pembacaan dakwaan.

Dalam berkas dakwaan tersebut, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, Kuat Maruf dan Richard Eliezer Pudihang Lumiu disangkakan melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 56 ke-1 KUHP.

Sedangkan untuk kasus Obstruction of Justice, Ferdy Sambo, Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Baiquni Wibowo, Arif Rahman, Chuck Putranto dan Irfan Widyanto dijerat Pasal 49 Jo Pasal 33 dan/atau Pasal 48 Ayat 1 Jo Pasal 32 Ayat (1) Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE.

Mereka juga disangkakan melanggar Pasal 55 Ayat (1) dan/atau Pasal 221 Ayat (1) ke-2 dan/atau Pasal 233 KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas