Pakar Sebut Kasus Bripka Madih soal Sengketa Tanah Mengingatkan dengan Istilah Whistleblowing
Pakar mengatakan kasus Bripka Madih soal sengketa tanah mengingatkan dengan istilah whistleblowing. Fenomena ini menjadi hal yang patut dipertanyakan.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel mengatakan kasus Bripka Madih yang diduga tanah milik orang tuanya diserobot oleh agen perumahan dan makelar tanah mengingatkan dirinya soal istilah whistleblowing.
Sebagai informasi, dalam pengakuannya di sebuah video, Bripka Madih mengaku akan mengungkap upaya minta suap oleh anggota polisi saat dirinya melaporkan soal kasus sengketa tanah.
"Ane ini sebagai pihak yang dizolimi, pelapor, bukan orang yang melakukan pidana, kecewa. Karena orangtua ane itu hampir 1 abad, melaporkan penyerobotan tanahnya ke Polda Metro Jaya. Kenapa dimintai biaya penyidikan coba? Oknum penyidik Polda mintanya sama Madih nih Saya, bukan ke orangtua ane. Dan minta hadiah," ucap Madih dalam video yang diunggah akun Instagram @undercover.id pada Kamis (2/2/2023).
"Ane ungkap, ane bongkar, ane buka...."," sambungnya.
Reza mengatakan ketegasan Bripka Madih itu perlu menjadi budaya yang digalakan dalam Korps Bhayangkara.
Baca juga: Buntut Panjang Kasus Bripka Madih: dari Sengketa Tanah, Langgar Kode Etik, hingga Dugaan KDRT
Hal tersebut lantaran hanya anggota polisi lah yang mengetahui adanya penyimpangan di institusinya sendiri.
"Whistleblowing itulah yang perlu disuburkan di internal kepolisian. Karena siapa yang paling mungkin mengetahui adanya penyimpangan oleh personel polisi, kalau bukan sesama personel polisi sendiri," tuturnya kepada Tribunnews.com, Minggu (5/2/2023).
Kendati demikian, Reza menjelaskan bahwa menjadi seorang whistleblower bukan perkara mudah.
Hal itu karena ketika menjadi seorang whistleblower, maka risiko untuk adanya pembalasan dari sesama anggota dalam sebuah institusi begitu besar.
"Gambarannya, delapan puluh persen orang menolak buka-bukaan tentang skandal internal karena takut akan adanya pembalasan. Baik serangan balik dari orang yang bikin skandal maupun pembalasan dari lembaga tempatnya bekerja," jelasnya.
Selain itu, Reza juga mengungkapkan seorang whistleblower kerap dicap sebagai pekerja yang buruk karena dianggap menutupi penyimpangan dirinya sembari membocorkan keburukan institusi atau lembaga tempat dia bekerja.
"Padahal, studi menemukan, kebanyakan whistleblower justru punya potensi kerja yang baik dan komitmen yang tinggi pada organisasi. 'Kelemahan' mereka cuma satu: menolak ikut arus, menentang kode senyap, yang kadung marak di dalam organisasi," ujarnya.
Berkaca dari Bripka Madih, Reza mempertanyakan nasib anggota Provost Polsek Jatinegara tersebut usai kasusnya viral di media sosial dan menjadi atensi Polda Metro Jaya apakah dipertahankan atau 'disingkirkan'.
"Tapi bagaimana dengan nasib Madih sendiri? Seberapa jauh dia sanggup terus bekerja sebagai personel polisi? Dan selama apa pula satuan wilayah masih betah mempertahankan 'duri dalam daging'? tanya Reza.
Baca juga: Mengaku Diminta Uang Pelicin Rp 100 Juta hingga Buat Resah, Bripka Madih Diduga Melanggar Etik