Disparitas Vonis dengan Tuntutan Pidana di Perkara Sambo Cs, Pakar Hukum: Jaksa Perlu Koreksi Diri
Pakar hukum pidana, Jamin Ginting mengakui memang terjadi disparitas hukuman pidana sebesar 7 tahun antara hakim dengan jaksa.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Kuat Maruf divonis 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Vonis ini jauh lebih berat ketimbang tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya menuntut pidana 8 tahun penjara.
Hal yang sama juga terjadi pada vonis terdakwa Putri Candrawathi yang dijatuhi hukuman pidana penjara 20 tahun dari tuntutan jaksa selama 8 tahun.
Pakar hukum pidana, Jamin Ginting mengakui memang terjadi disparitas hukuman pidana sebesar 7 tahun antara hakim dengan jaksa.
Menurutnya jaksa perlu mengoreksi diri terkait penyusunan tuntutan.
"Ini disparitasnya terlalu tinggi dengan tuntutan dari jaksa penuntut umum. Saya kira jaksa harus lagi mengoreksi diri terkait ini," kata Jamin dalam tayangan Kompas TV, Selasa (14/2/2023).
Jamin menilai disparitas hukuman yang terlampau jauh tersebut seakan majelis hakim memandang seluruh tuntutan jaksa tidak efektif.
Menurutnya jaksa dalam penyusunan tuntutan perlu melihat hukuman apa yang pantas bagi terdakwa sekaligus yang bisa memberikan rasa keadilan di masyarakat, serta memberi efek jera bagi terdakwa.
"Jadi seakan - akan apa yang dituntut jaksa semuanya tidak efektif menurut hakim. Jadi waktu runtut itu sebenarnya harus dilihat apa yang pantas menurut jaksa memberi rasa keadilan dalam masyarakat sehingga tuntutannya memberikan efek jera," terangnya.
"Jadi 8 tahun ke 15 saya kira cukup jauh. Saya kira ini menjadi gambaran perbedaan cukup nyata pandangan berbeda antara hakim dengan jaksa," tutur Jamin.
Sebagaimana diketahui Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 15 tahun pidana penjara kepada terdakwa Kuat Maruf dalam perkara dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Hakim menyatakan Kuat Maruf terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana turut serta merampas nyawa seseorang dengan perencanaan terlebih dahulu.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim tidak menemukan adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang bisa menghapus sifat melawan hukum atau kesalahan terdakwa.
Selain itu hakim juga menolak nota pembelaan atau pleidoi terdakwa Kuat Maruf.