Politisi PKS Sebut MK Masih Waras Karena Tolak Uji Materi Masa Jabatan Presiden
Nasir Djamil mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan gugatan uji materi UU Pemilu atas pasal yang mengatur batas masa jabat
Penulis: Reza Deni
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Fraksi PKS, Nasir Djamil mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan gugatan uji materi UU Pemilu atas pasal yang mengatur batas masa jabatan presiden dua periode.
"Alhamdulillah MK masih waras. Saya senang dengar berita itu. Berarti memang artinya MK menyadari bahwa kekuasaan itu memang harus ada pembatasan, kekuasaan itu harus ada pengawasan," kata Nasir kepada wartawan, Rabu (1/3/2023)
Menurutnya, putusan MK yang menolak permohonan uji materi itu sudah benar karena konstitusi sudah mengatur bahwa masa jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode.
Nasir juga menegaskan bahwa putusan MK tersebut menjadi akhir dari polemik soal perpanjangan jabatan presiden.
Lebih lanjut, dia yakin Presiden Joko Widodo menyadari masa jabatannya dibatasi konstitusi sehingga MK akan menolak uji materi tersebut.
"Karena memang situasi yang ada itu tidak bisa dijadikan alasan dan tidak ada pembenaran untuk kemudian adanya upaya untuk perpanjangan jabatan presiden tersebut," tandas Nasir.
Baca juga: KPU Respon Putusan MK Bolehkan Eks Napi Jadi Caleg DPD Setelah 5 Tahun Keluar Penjara
Sebelumnya, MK menolak permohonan gugatan uji materi terhadap pasal yang mengatur batas masa jabatan presiden dua periode.
Adapun Gugatan tersebut diajukan oleh seorang guru honorer asal Riau, Herifuddin Daulay.
Daulay mengajukan gugatan terhadap Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Anwar Usman menyatakan permohonan provisi pemohon ditolak untuk seluruhnya.
MK, dalam pertimbangannya menyebut bahwa pemohon mengajukan dalil lain selain pokok permohonan yang diajukan.
Dalil tersebut dianggap tidak jelas dan tidak memiliki benang merah dengan petitum pemohon.
Begitu juga dengan provisi pemohon yang meminta MK agar menyatakan kaidah hukum tunduk pada kaidah bahasa Indonesia.
Mahkamah menganggap provisi tersebut dianggap tidak jelas atau bersifat kabur sehingga harus dikesampingkan.
Namun, terdapat dua hakim MK yang menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam putusan ini, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.
"Pendapat berbeda terhadap putusan MK a quo, dua hakim konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh memiliki pendapat berbeda, dissenting opion," ujar Anwar.