Wayan Sudirta Beri Penilaian Kinerja Jaksa Agung Sekaligus Lontarkan Catatan Evaluatif
Anggota Komisi III DPR RI, Wayan Sudirta, memberikan apresiasi positif terhadap kinerja Kejaksaan Agung RI sepanjang tahun 2022.
Editor: Hasanudin Aco
‘’Saya juga memberi apresiasi atas inisiatif Kejaksaan dalam mendorong penerapan Keadilan Restoratif dengan membentuk peraturan teknis dan rumah keadilan restoratif yang telah ada di beberapa daerah. Kami mencatat telah ada 621 Rumah Restorative Justice.
Selain itu, Kejaksaan juga mendorong pembentukan 119 Balai Rehabilitasi untuk mendukung penanganan rehabilitatif bagi pecandu atau pengguna Narkotika sehingga tidak memperburuk kondisi over-populasi di Lembaga Pemasyarakatan.
Namun, sekalipun ada progres yang bagus, tentu masih ada masyarakat yang tidak mendapat layanan berkualitas, yang punya persepsi negative dan tidak puas. Dan itu mesti dievaluasi.
Pertama, imbuh Sudirta, mengenai penanganan perkara, terutama korupsi dan HAM yang dinilai masyarakat menemui tren penurunan atau sering dikeluhkan oleh masyarakat.
Terkait dengan penanganan kasus korupsi, Kejaksaan memang berfokus kepada pemulihan dan penyelamatan kerugian negara, sehingga kuantitas boleh menurun namun kualitas meningkat.
Mengingat fenomena dan dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana khusus lainnya, terutama bersama dengan TPPU, diduga masih tinggi seperti terekspos dari kasus pejabat Kantor Pajak yang lagi viral, Sudirta menambahkan,’’Saya melihat bahwa Kejaksaan perlu banyak bekerjasama dengan KPK, Polri, dan seluruh Kementerian/Lembaga untuk melakukan pengawasan dan penindakan,’’ katanya.
Sebagai contoh, terkait dengan dugaan TPPU dan pelanggaran hukum oleh oknum-oknum di Kementerian Keuangan yang saat ini menyita perhatian masyarakat.
Peran Jaksa dalam hal ini akan sangat membantu dalam menimbulkan efek jera sekaligus kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum.
Kejaksaan perlu mengoptimalkan kembali penanganan perkara korupsi seperti: kelanjutan dari pelaku korupsi di kasus lahan PT Duta Palma, Korupsi oleh Kepala Daerah atau Pemda maupun Pemerintah Desa, Kasus BTS, dan kasus-kasus lainnya, terutama yang terkait dengan pendapatan dan penerimaan negara. Hal ini juga dapat mendorong peningkatan Indeks Persepsi Korupsi Nasional.
Selain itu, Kejaksaan juga perlu meningkatkan optimalisasi penyelesaian kasus-kasus HAM (terutama HAM Berat) termasuk yang terjadi di masa lalu, yang menjadi tugas dan kewenangannya.
Terhadap tata kelola Sumber Daya Manusia di Kejaksaan, Sudirta melihat bahwa Kejaksaan telah mengembangkan sistem pengawasan maupun pengembangan kapasitas.
Serta mendorong peningkatan pengawasan untuk membersihkan apa yang oknum-oknum jaksa yang terlibat dan terkait dengan mafia penegakan hukum dan kartelisasi lainnya. Independensi, kemandirian, dan tidak berpolitik, tetap perlu dijaga, agar hukum tidak menjadi alat dari politik dan kekuasaan kekuatan tertentu.
Sudirta juga menyorot sistem meritokrasi dan penerapan sistem reward and punishment yang selama ini dijalankan oleh Kejaksaan.
‘’Saya masih sering mendengar bahwa sistem pengisian jabatan atau penempatan Jaksa (mutasi dan rotasi) masih seringkali didasarkan pada tolok ukur subyektivitas daripada obyektivitas. Untuk itu, saya terus mendorong Kejaksaan membentuk aturan yang komprehensif terkait dengan tata kelola SDM dan pegawai terkait dengan tolok ukur kinerja dan prestasi, disamping meritokrasi untuk penurunan kinerja dan pelanggaran lainnya,’’ katanya.