Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pentingnya Investigasi Gagal Ginjal Akut pada Anak dan Urgensi RUU Pengawasan Obat dan Makanan

Tudingan yang dilontarkan secara terbuka dan tanpa bukti yang kuat akan merusak nama baik industri farmasi. Maka penting dilakukan investigasi.

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
zoom-in Pentingnya Investigasi Gagal Ginjal Akut pada Anak dan Urgensi RUU Pengawasan Obat dan Makanan
TRIBUNJAKARTA.COM/DWI PUTRA KESUMA
Soliha menunjukan foto almarhumah si bungsu AAN semasa hidup, Jumat (21/10/2022). Ibunda Azqiara, Soliha, masih ingat betul perjuangan putri bungsunya melawan penyakit gagal ginjal akut tersebut. Berikut cerita sedih orangtua kehilangan anaknya karena gagal ginjal akut. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Prof Hikmahanto Juwana menyoroti  kebiasaan pihak-pihak tertentu dalam menuding pihak lain padahal tudingan pada pihak tertentu tidak akan menyelesaikan masalah justru tudingan itu salah.

Ia mencontohkan dugaan pelaku industri yang dituduh memproduksi obat yang mengandung unsur yang berbahaya namun di kemudian hari tuduhan tersebut diketahui tidak benar dan tidak dapat dibuktikan.

Lantas apakah bisa pelaku industri tersebut menuntut Pemerintah atau penegak hukum yang berwenang atas kerugian yang dialami?

Baca juga: 7 Rekomendasi Komnas HAM untuk Polri, LPSK & Pelaku Industri Farmasi terkait Kasus Gagal Ginjal Akut

Hikmahanto yang juga merupakan guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia memberikan analogi kasus kecelakaan bus yang menabrak pejalan kaki hingga tewas.

Polisi kemudian melakukan investigasi yang mengarah pada dugaan kesalahan pengemudi bus.

Oleh penuntut umum perkara dibawa ke persidangan, namun kuasa hukum pengemudi meminta otopsi jenazah korban dan dari hasil otopsi diketahui bahwa korban meninggal karena serangan jantung, bukan akibat ditabrak.

BERITA TERKAIT

"Contoh ini adalah bukti pentingnya investigasi secara menyeluruh, bahkan termasuk pada kondisi korban. Dari analogi tersebut bisa diketahui pentingnya melihat fakta dan bukti secara cermat," kata Hikmahanto saar menjadi keynote speaker dalam dialog kebijakan publik bertajuk Investigasi Kasus: Gagal Ginjal Akut pada Anak dan Pentingnya RUU Pengawasan Obat dan Makanan yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNJANI bekerjasama dengan Policy Innovation Center (PIC Indonesia belum lama ini.

Terkait kejadian Kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada anak, Hikmahanto menekankan pentingnya investigasi menyeluruh pada semua pihak yang terkait, tidak terbatas pada pihak tertentu saja.

"Tudingan-tudingan yang dilontarkan secara terbuka dan tanpa bukti yang kuat akan merusak nama baik industri farmasi atau industri kesehatan lainnya yang kemudian dianggap tidak kompeten," tegasnya.

Guru Besar bidang Ilmu Biofarmatika Universitas Airlangga, Prof. Junaidi Khotib melandaskan sisi kajian kefarmasian pada paparan EG DEG yang adalah salah satu penyebab timbulnya GGAPA.

Dalam prosedur yang berlaku, kata dia, ada tahapan yang harus dilalui oleh industri farmasi, dimulai dari bahan baku yang harus sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh berbagai pihak yang berwenang, dan seterusnya.

"Benturan dimulai dari ketentuan mengenai rantai pasok karena diatur oleh berbagai institusi secara terpisah, akibatnya tidak ada leading sector. Kemungkinan adanya overlapping aturan inilah yang dikaji melalui dialog ini," katanya.

Dokter Spesialis Anak Konsultan Nefrologi dan perwakilan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Eka Laksmi, berpandangan, sebenarnya gagal ginjal ini adalah hal yang biasa.

Normalnya, gagal ginjal akut adalah komplikasi atau kejadian ikutan namun demikian pada 2022 berbagai kasus muncul dengan penyebab yang tidak biasa dengan tingkat kesulitan dan bahkan kematian yang melonjak jumlah kasusnya di Agustus 2022.

Penyebab kasus ini menjadi tidak biasa adalah para pasien didominasi anak usia balita, utamanya di bawah 3 tahun, dari yang normalnya dialami anak usia remaja.

"Selain itu, kasus ini terjadi pada anak yang sebelumnya sehat, tanpa penyakit penyerta atau komorbiditas, bahkan tidak didahului oleh riwayat sakit dan datang ke rumah sakit dengan kondisi anuria atau tidak bisa berkemih," ujarnya.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) cabang kota Cimahi, Dzul Akmal menekankan pentingnya investigasi dan evaluasi lebih lanjut termasuk dalam hal peredaran, perdagangan, kualitas tenaga kesehatan dan pengetahuan masyarakat, termasuk penyebaran informasi.

"Karena minimnya kewenangan, maka kemandirian BPOM dibutuhkan dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan perlu didorong untuk menjadi landasan dalam rangka perlindungan masyarakat yang bersifat menyeluruh," kata dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kesehatan (FITKes) Unjani itu.

Staf Ahli bidang Pembangunan Berkelanjutan di Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Kemenko-PMK), Agus Suprapto menyikapi kejadian GGAPA. Menurutnya, harus ada perlindungan bagi para korban dan ini adalah pemicu agar RUU Badan Pengawas Obat dan Makanan terus dibahas secara bersama-sama namun tidak bertele-tele.

Dalam kaitannya dengan RUU Omnibus Law Kesehatan, harus ada forum yang bisa mensinergikan keduanya. Karena itu integritas semua pihak dituntut.

“Dunia usaha membutuhkan BPOM, apapun namanya, karena urusan obat adalah urusan nyawa," tegasnya.

Ahli kebijakan publik Unjani, Dr. Riant Nugroho menekankan pentingnya human security. Pembagian kewenangan dalam isu, kata dia, tercantum dalam Inpres No. 4/2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi dan Merespon Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.

"Dalam hal ini, health security adalah bagian dari human security, dan bagian yang pelik dari health security adalah aspek kesehatan dan keselamatan anak. Ini adalah salah satu dimensi yang penting namun tidak mudah penanganannya," katanya.

Di lain pihak, BPOM terkendala secara kelembagaan. Kapasitas dan Sumber Daya Manusia yang dimiliki saat ini sangat kurang dan harus diperkuat dengan menciptakan ekosistem.

Hal ini, sambung dia, menjadi perhatian khusus karena RUU Pengawasan Obat dan Makanan sudah ditunggu.

Ia menegaskan, lima tahun adalah waktu yang panjang. Masyarakat itu tidak bisa menunggu. People cannot wait. Yang diperlukan kini adalah bagaimana cara mengorkestrasi agar tidak ada korban lain akibat belum adanya dasar hukum yang kuat.

"RUU BPOM dibutuhkan untuk menciptakan ekosistem dan tata kelola lembaga yang baik, bukan soal BPOM yang menjadi setara Kementerian," ujarnya.

Dialog publik bertujuan untuk mendorong pemerintah agar melakukan investigasi yang mendalam, objektif dan transparan, terkait dengan kasus misterius yang diduga Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada anak.

Di samping itu, dialog kebijakan publik ini juga diharapkan dapat memunculkan ide dan gagasan yang dapat mengakselerasi percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang mampu memberikan penguatan kelembagaan dan pemberian kewenangan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), termasuk dalam hal penyelidikan dan penindakan tindak pidana, dalam menghadapi kompleksitas tantangan pengawasan obat dan makanan yang ada di Indonesia.

Selain Prof. Hikmahanto Juwana, narasumber yang hadir dalam dialog tersebut antara lain: Dr. Riant Nugroho (Ahli Kebijakan Publik, dan Dosen Magister Ilmu Pemerintahan FISIP UNJANI), dr. Eka Laksmi Hidayati (Dokter Spesialis Anak Konsultan Nefrologi dan perwakilan Ikatan Dokter Anak Indonesia).

Kemudian Prof. Junaidi Khotib (Guru Besar bidang Ilmu Biofarmatika, Universitas Airlangga); dan Dzul Akmal (Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia cabang Kota Cimahi yang juga adalah Dosen pada Fakultas Ilmu dan Teknologi Kesehatan UNJANI). 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas