Soal Dugaan Gratifikasi Wamenkumham, Pakar: Presiden Harus Turun Tangan
Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar mendorong KPK harus responsif menindaklanjuti dugaan korupsi gratifikasi pejabat negara
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan dugaan tindak pidana korupsi, gratifikasi, atau pemerasan dalam jabatan oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso.
Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar mendorong KPK harus responsif menindaklanjuti dugaan korupsi gratifikasi pejabat negara tersebut.
"Saya kira apa yang sudah diadukan kepada KPK, pasti sudah ada bukti yang kuat, saya yakin KPK akan memprosesnya. Sebab itu KPK harus responsif dan memanggil pihak-pihak yang dilaporkan," kata Fickar kepada wartawan, Selasa (14/3/2023).
Ia mengatakan bahwa gratifikasi di atas nilai Rp10 juta harus dilaporkan karena terindikasi menjadi tindakan korupsi sehingga menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus turun tangan jika terbukti ada pejabat negara yang diduga melakukan korupsi.
"Kalau sudah ada bukti, presiden wajib turun tangan. Sekarang yang penting klarifikasi pembuktiannya bagi terlapor," ujarnya.
Baca juga: Menkominfo Jhonny G Plate Belum Pasti Datang Penuhi Panggilan Pemeriksaan Kasus Korupsi BTS Besok
Sebagaimana diketahui saat ini HH sedang berada dalam tahanan Polda Sulsel.
Sebelumnya IPW menduga adanya kriminalisasi yang dilakukan oleh Polda Sulsel terhadap HH sebagai buntut dari permasalahan kepemilikan saham PT CLM.
Sementara pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing menilai jika KPK secara hukum positif akan memproses kasus tersebut secara independen, profesional dan objektif.
Menurutnya, Wamenkumham sebagai seseorang yang berkedudukan di pemerintah dalam bidang hukum, harusnya berterima kasih kepada yang melaporkan.
"Kenapa saya katakan berterima kasih? Karena itu menjadi suatu pendidikan hukum. Sehingga nanti terbuka kepada publik bahwa orang yang bersangkutan tidak sebagaimana yang diduga pada dirinya atau sebaliknya. Karena dia menguasai, mengerti dan memahami terkait hukum. Kemudian berdasarkan catatan saya dia adalah ilmuwan hukum. Sehingga inilah kesempatan dia menunjukkan perjuangannya di jalur hukum," kata Emrus.
Wamenkumham, lanjutnya, harus mengklarifikasi ke KPK atas tuduhan yang ditujukan kepada dirinya menjadi terang benderang.
Apa lagi KPK sebagai institusi penegak hukum, akan bekerja atas dasar hukum positif dalam menangani kasus tipikor.
"KPK itu bekerja atas dasar hukum positif, independen dan tidak dibawah tekanan apapun. Sehingga ikuti saja apakah laporan itu ditindaklanjuti KPK ke proses hukum selanjutnya atau tidak ditindaklanjuti," kata dia.
Lebih lanjut, terkait dengan Wamenkumham EOSH yang diduga "cuci tangan" karena menyerahkan kasus tersebut ke dua asisten pribadinya, Emrus berpendapat jika sebagai seorang ilmuwan di bidang hukum seharusnya menghadapi kasus tersebut secara ksatria.
"Sebagai ilmuwan hukum, EOSH seharusnya mengatakan bahwa 'ya silahkan saja melaporkan, saya akan hadapi di proses hukum' sejatinya seperti itu yang harus disampaikan, sekaligus menunjukkan keksatriaan, karena bidang dia hukum kan?" kata Emrus.
Ketika laporan tersebut ditindaklanjuti oleh KPK, maka sebagai seseorang yang paham hukum akan menghadapi laporan tersebut, bahkan seorang diri tanpa pengacara.
Baca juga: Adu Lapor Pihak Wamenkumham dan IPW Buntut Kasus Dugaan Gratifikasi Rp 7 Miliar
"Bila perlu tanpa pengacara, dia yang memberikan tanggapan secara formal menunjukkan suatu bukti dan argumentasi hukum bahwa dia tidak terlibat atau melakukan," lanjutnya.
Sebelumnya Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso menyebut jika ada aliran dana senilai Rp7 miliar yang diterima oleh Eddy Hiariej melalui dua orang asisten pribadinya.
"Bulan April dan Mei (2022) ada satu pemberian dana masing-masing Rp2 miliar, Rp2 miliar sebesar Rp4 miliar yang diduga diterima oleh Wamen EOSH melalui asisten pribadinya di Kemenkumham saudara YAR," kata Sugeng di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (14/3/2023).
"Ini ada beberapa chat di sini. Ini dikatakan 'mereka berdua aspri saya' jadi ada chat ini terkonfirmasi bahwa saudara YAR ada satu lagi asprinya bernama YAM ini terkonfirmasi dalam chat ya," kata dia.
Lebih lanjut, terdapat adanya pemberian uang tunai pada Agustus 2022 sebesar Rp3 miliar dalam bentuk mata uang dolar AS.
Uang tersebut diterima oleh YAR di ruangannya yang diduga atas arahan Wamen Eddy.
"Dugaan pemerasan itu dialami oleh saudara HH Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri, terkait dengan permintaan bantuan pengesahan badan hukum oleh PT CLM untuk disahkan oleh AHU," katanya.
Kemudian pada 17 Oktober 2022, sekitar pukul 12.00 WIB dana Rp4 miliar ditambah Rp3 miliar tunai dikembalikan melalui transfer atas nama YAR ke rekening PT CLM senilai Rp7 miliar.
Dengan begitu, Sugeng mengatakan bahwa penerimaan uang Rp3 miliar tersebut terkonfirmasi atau diakui oleh EOSH.
"Tetapi pada tanggal 17 Oktober 2022 pukul 14.36 dikirim lagi oleh PT CLM ke rekening bernama YAM aspri juga dari saudara Wamen EOSH terbukti dalam chat-chat ini," kata dia.
Sugeng mengatakan bahwa EOSH meminta kepada HH agar asprinya bernama YAR dapat ditempatkan sebagai Komisaris di PT CLM.
"Kemudian diakomodasi dengan adanya akta notaris, satu orang yang tercantum saudara YAR," tambahnya. (*)