Ketua DPD Minta Pimpinan MPR segera Gelar Rapat Gabungan Tindak Lanjuti Pergantian Fadel Muhammad
Sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD, akan memastikan terakomodirnya dan berjalannya kebijakan dan agenda politik tersebut
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, La Nyalla Matalitti meminta segera digelarnya rapat gabungan Fraksi-Fraksi di MPR dan Kelompok DPD di MPR, beserta Pimpinan MPR, terkait pergantian Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad dengan Tamsil Linrung.
"Pimpinan MPR untuk menghormati dan menindaklanjuti hasil sidang paripurna DPD tersebut, karena Sidang Paripurna merupakan forum tertinggi dalam pengambilan keputusan,” kata La Nyala, dalam pernyataannya seperti dikutip Selasa (14/3/2023).
Dijelaskan La Nyalla, penting bagi DPD RI untuk memastikan kebijakan dan agenda politik DPD dapat diakomodir di MPR.
“Sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD, akan memastikan terakomodirnya dan berjalannya kebijakan dan agenda politik tersebut,” ucap La Nyala.
Baca juga: Tanggapi Kemenangan Erick Thohir, La Nyalla Berharap Tak Ada Mafia Dalam Kepengurusan PSSI
Terkait pertanyaan Pimpinan MPR yang tidak menjalankan putusan sidang Paripurna DPD RI, La Nyala mengingatkan, penggantian Pimpinan MPR merupakan hak prerogatif Fraksi-fraksi partai politik di MPR dan Kelompok DPD di MPR (DPD). Ini yang telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e Tata Tertib MPR.
La Nyala memaparkan berdasar kajian DPD RI, disebutkan pada Pasal 67 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berbunyi “gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat” selaras dengan asas Presumtio iustae Causa yang menyatakan setiap keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara harus dianggap memiliki legalitas dan tetap dilaksanakan sebelum dinyatakan sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap;
Selain itu, dalam jawaban di PN dan PTUN, menyatakan bahwa Keputusan yang dikeluarkan oleh Pimpinan DPD diterbitkan dalam menjalanan wewenang ketatanegaraan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) sesuai fungsi, tugas dan tanggungjawabnya sebagai Lembaga Tinggi Negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.
Sehingga Keputusan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan sebagai Objek Sengketa Tata Usaha Negara (TUN).
Diperkuat dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan "bahwa keputusan TUN objek sengketa, tidak dapat disebut keputusan TUN yang menjadi wewenang PTUN, karena KTUN tersebut diterbitkan dalam menjalankan wewenang ketatanegaraan yang dimiliki oleh DPD-RI sesuai fungsi, tugas dan tanggungjawabnya sebagai Lembaga Tinggi Negara”.
Selain kajian dari DPD RI tersebut, sejumlah pakar hukum tata negara juga sudah mempertanyakan sikap Pimpinan MPR yang tidak segera menjalankan putusan paripurna DPD RI untuk mengganti Fadel Muhammad dengan Tamsil Linrung.
Pakar hukum tata negara, Refly Harun mengatakan harusnya proses politik tidak boleh dicampuri dengan proses hukum.
Baca juga: Ketua DPD Minta MPR Segera Lantik Tamsil Linrung sebagai Pengganti Fadel Muhammad
Dijelaskannya, jika ingin bertata negara yang baik, menurut Refly, Tamsil harus segera dilantik. Pimpinan MPR harus mengabaikan proses hukum ke PTUN yang dilakukan Fadel Muhammad. Refly mempertanyakan gugatan PTUN yang dilakukan Fadel.
“Apa yang mau di-PTUN-kan?. Masa keputusan sidang paripurna di-PTUN-kan. Itu kan tidak benar. Sidang paripurna itu hanya bisa di-PTUN-kan dengan sidang paripurna juga,” ucapnya.
Pengamat hukum Tata Negara lainnya, Margarito Kamis, mengatakan MPR tidak perlu menunggu poses hukum yang diajukan Fadel Muhammad selesai. Menurut Magarito, semuanya tinggal kemauan MPR.
“Kalau MPR mau, sebenarnya mereka punya dasar untuk melakukan tindakan itu (melantik Tamsil Linrung menggantikan Fadel, Red),” ujarnya.
Ichsanuddin Noorsy mengatakan jika menggunakan UU MD3 2018, pimpinan MPR tidak bisa menunda pelantikan Tamsil Linrung.
Penundaan pelantikan wakil ketua MPR dari unsur DPD justru mengganggu kepentingan DPD atas MPR.
Ichsan mengingatkan, pemegang otoritas pengambilan keputusan untuk mengganti wakil ketua MPR berada di Sidang Paripurna DPD.
“Jika Fadel merasa dirugikan, seharusnya Fadel membela dirinya bukan di pengadilan. Tapi di sidang paripurna DPD, sebab pemegang otoritasnya ada di paripurna DPD,” tandas dia.
Sebelumnya, Senator asal Gorontalo, Fadel Muhammad menyebut pencopotan dari posisi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) inkonstitusional atau tidak sesuai konstitusi.
Untuk itu, mantan gubernur Gorontalo ini akan melakukan sejumlah upaya hukum untuk melawan pelanggaran tersebut.
"Mekanisme mosi tidak percaya, tidak ada dalam aturan perundang-undangan, tidak sesuai dengan tata tertib, maupun aturan lain yang ada di DPD dan MPR," kata dia, dalam keterangannya Jumat (19/8/2022).
Menurut dia, kedudukan sebagai Wakil Ketua MPR periode 2019-2024, sah menurut hukum dan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Dia mengaku telah bekerja dan menjalankan tugas sesuai amanat peraturan perundang-undangan, termasuk menjalankan Pasal 138 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tentang Tata Tertib (Tatib), yang mengamanatkan dirinya untuk menyampaikan laporan kinerja di hadapan sidang paripurna DPD.
Jadi, segala bentuk usulan atau yang diistilahkan 'pengambilalihan mandat' oleh sejumlah anggota DPD adalah inkonstitusional," tuturnya.
Ia menguraikan, langkan sejumlah anggota DPD yang tidak sesuai dengan kaidah hukum dan aturan perundang-undangan, masuk dalam kategori perbuatan yang tidak melaksanakan sumpah atau janji jabatan yang telah diucapkan.
Serta kewajiban sebagai anggota DPD untuk menaati Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Karenanya, ia akan melaporkan para anggota yang menandatangani pemakzulan dirinya kepada Badan Kehormatan (BK) DPD, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), serta gugatan pengadilan secara perdata dan pidana.
Saat ini, ungkap dia, seluruh laporan hukum tersebut tengah ia siapkan bersama tim kuasa hukumnya.
"Kita tidak boleh membiarkan terjadinya kesewenang-wenangan di negara ini, terlebih di lembaga tinggi negara. Makanya, saya akan menempuh seluruh upaya hukum, untuk melawan ketidakpatuhan terhadap hukum dan seluruh aturan perundang-undangan yang berlaku," jelas dia.