Komisi IX DPR Tanggapi Permenaker Terbaru Izinkan Eksportir Gaji Karyawan 75 Persen
Legislator PDIP itu mengatakan pikiran jernih dibutuhkan untuk melihat dari kedua sisi, tak hanya dari unsur pekerja, tetapi juga pengusaha.
Penulis: Reza Deni
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo, menanggapi soal kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan melalui Permenaker nomor 5 tahun 2023 yang memperbolehkan perusahaan di bidang ekspor memangkas gaji karyawan sebesar 25 persen.
Kebijakan tersebut diketahui ditolak Partai Buruh dan sejumlah elemen buruh lainnya
Rahmad mengajak semua pihak untuk berpikir jernih dan utuh soal kebijakan tersebut.
Pasalnya, kebijakan tersebut memang dinilai Rahmad sebagai langkah terakhir untuk mempertahankan industri ekspor yang terancam akibat pandemi Covid-19 dan juga situasi geopolitik.
“Ini istilahnya maju kena mundur kena. Sangat tidak mengenakkan ya. Kalau kita tidak mengambil langkah efisiensi, ancaman gulung tikar perusahaan ekspor itu sangat nyata. Sementara dampak dari kebijakan ini para pekerja menjerit,” kata Rahmad dalam pesan yang diterima, Jumat (17/3/2023).
Baca juga: Partai Buruh Tolak Permenaker 5 Tahun 2023 yang Bolehkan Perusahaan Bayar Upah 75 Persen
Legislator PDIP itu mengatakan pikiran jernih dibutuhkan untuk melihat dari kedua sisi, tak hanya dari unsur pekerja, tetapi juga pengusaha.
“Kita harus selamatkan semuanya. Ya perusahaannya ya karyawannya,” kata dia
Rahmad melanjutkan kebijakan ini juga butuh kesepakatan antara buruh dan pengusaha.
“Toh ini juga berjalan enam bulan, dan bagi perusahaan berjalan enam bulan itu sudah cukup untuk bernapas," ujarnya.
Jika kebijakan ini disepakati oleh kedua belah pihak, Rahmad menilai ancaman gulung tikar dan juga PHK bisa dihindari.
Dan jika ini tak disepakati, Rahmad mengatakan ancaman perusahaan untuk tutup semakin besar.
"Kita ajak kepada para pekerja dan pengusaha menyikapi ini dengan bijak. Jangan melihat ini dari satu sudut pandang, kesejahteraan pekerja atau perusahaan survive ya," kata Rahmad
"Buat apa pekerja digaji seperti itu (penuh) tapi ancaman PHK nyata? Kan rugi juga pekerjanya kehilangan pekerjaannya, perusahaanya terancam tutup. Nah ini kan harus diselesaikan, tapi sekali lagi ini dibutuhkan kesepakatan antara perusahaan dan pekerja," pungkasnya
Sebelumnya, Partai Buruh menyoroti Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023.
Ketentuan itu mengatur tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menegaskan pihaknya menolak Permenaker No. 5 Tahun 2023 tersebut.
Menurutnya, aturan yang membolehkan perusahaan padat karya tertentu orientasi ekspor membayar upah 75 persen itu melanggar ketentuan Undang-Undang.
Bahkan Said Iqbal mengatakan apabila nilai penyesuaian upah ini di bawah upah minimum merupakan tindak pidana kejahatan.
“Saya ingatkan, Permenaker ini melanggar Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang telah ditandatangani Presiden. Di mana kebijakan Presiden hanya ada upah minimum. Kenapa Menaker membuat Permenaker yang isinya bertentangan dengan peraturan di atasnya,” kata Said Iqbal lewat keterangannya di Jakarta, Senin (15/3/2023).
“Padahal sudah jelas, tidak ada kebijakan Menteri. Hanya ada kebijakan Presiden. Tetapi Menaker membuat Peraturan Menteri yang melanggar kebijakan Presiden,” tegasnya.
Menurut Said Iqbal, keadaan tertentu yang menjadi syarat di dalam Permenaker ini tidak jelas dan rentan disalahgunakan perusahaan untuk membayar upah buruh dengan murah.
Selain itu, kebijakan ini diskriminatif dan bahkan membunuh perusahaan di dalam negeri.
“Perusahaan orientasi ekspor dibolehkan membayar upah hanya 75 persen, tetapi perusahaan domestik tidak boleh. Ini diskriminatif. Apakah Menaker bermaksud mau mematikan perusahaan dalam negeri,” Kata Said Iqbal.
Belum lagi, lanjut dia, perusahaan orientasi ekspor juga diperbolehkan menyesuaikan waktu kerja.
Sementara itu, pengurangan jam kerja, seringkali juga akan digunakan perusahaan untuk tidak membayar upah buruh.
“Misal ada perusahaan orientasi pasar dalam negeri, perusahaan kecil, sebut saja tekstil. Bayar upah 100 persen. Tetapi ada perusahaan besar, raksasa, orientasi ekspor, misal memproduksi Uniqlo, dia boleh bayar upah hanya 75 persen.”
“Jam kerja yang domestik 40 jam seminggu, di sini hanya 30 jam dan upahnya hanya 75 persen. Bikin rusak Negara,” papar Said Iqbal.
Terkait dengan hal itu, Said Iqbal menyerukan para buruh melakukan mogok kerja jika upahnya dikurangi.
Sementara untuk menyikapi terbitnya Permaner No 5 Tahun 2023 tersebut, Said Iqbal menegaskan pihaknya akan mendemo Kantor Menteri Ketenagakerjaan dan mengajukan gugatan ke PTUN.