Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Puisi Sapardi Djoko Damono Paling Populer: Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, Dukamu Abadi

Puisi Sapardi Djoko Damono paling populer, di antaranya Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, Dukamu Abadi. Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada 2020.

Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Nanda Lusiana Saputri
zoom-in Puisi Sapardi Djoko Damono Paling Populer: Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, Dukamu Abadi
Tribunnews.com/Nurul Hanna
Sapardi Djoko Damono dalam wawancara di gedung Kompas Gramedia, Jakarta Pusat, Jumat (27/10/2017). - Berikut ini puisi Sapardi Djoko Damono yang populer. 

TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini puisi Sapardi Djoko Damono yang dapat menjadi referensi berpuisi.

Sapardi Djoko Damono adalah sastrawan Indonesia yang muncul di Google Doodle hari ini, Senin (20/3/2023), untuk memperingati hari kelahirannya.

Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada 19 Juli 2020 saat usianya 80 tahun.

Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang terkenal di antaranya Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin.

Puisi Hujan Bulan Juni ditulis pada tahun 1989 dan tergabung dalam buku antologi puisi 'Hujan Bulan Juni'  yang terbit pada 1994 oleh Grasindo.

Selengkapnya, simak puisi Sapardi Djoko Damono yang populer, dikutip dari buku antologi puisi Hujan Bulan Juni dan Dukamu Abadi.

Baca juga: Google Doodle Hari Ini Tampilkan Sapardi Djoko Damono, Peringati Hari Ulang Tahunnya yang ke-83

Hujan Bulan Juni

BERITA TERKAIT

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu..

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada

Baca juga: Siapa Sapardi Djoko Damono? Muncul di Google Doodle Hari Ini

Yang Fana adalah Waktu

Yang fana adalah waktu
Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.

Hujan Turun Sepanjang Jalan

Hujan turun sepanjang jalan
Hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan
Kembali bernama sunyi
Kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali

Tak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tiba
atas pesan yang rahasia
Tatkala angina basah tak ada bermuat debu
Tatkala tak ada yang merasa diburu-buru

Dukamu Abadi

Dukamu adalah dukaku.
Air matamu adalah air mataku
Kesedihan abadimu
Membuat bahagiamu sirna
Hingga ke akhir tirai hidupmu
Dukamu tetap abadi.

Bagaimana bisa aku terokai perjalanan hidup ini
Berbekalkan sejuta dukamu
Mengiringi setiap langkahku
Menguji semangat jituku
Karena dukamu adalah dukaku
Abadi dalam duniaku!

Namun dia datang
Meruntuhkan segala penjara rasa
Membebaskan aku dari derita ini
Dukamu menjadi sejarah silam
Dasarnya 'ku jadikan asas
Membangunkan semangat baru
Biar dukamu itu adalah dukaku
Tidakanku biarkan ia menjadi pemusnahku!

Baca juga: Fakta Sapardi Djoko Damono Meninggal Dunia: Idap Infeksi Paru-Paru, Pelayat Dilarang ke Pemakaman

Pertemuan

perempuan mengirim air matanya
ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan
ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal
lembut bagai bianglala

lelaki tak pernah menoleh
dan di setiap jejaknya: melebat hutan-hutan,
hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari
keras dan fana

dan serbuk-serbuk hujan
tiba dari arah mana saja (cadar
bagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh)
ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini

(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

Artikel lain terkait Sapardi Djoko Damono

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas