Nelayan Lokal Beri Tanggapan Soal Dugaan Pencemaran Pantai Kawasi di Perairan Obi oleh Limbah Nikel
Mayoritas masyarakat yang tinggal di pesisir menggantungkan hidupnya dari laut, terutama mereka yang menggeluti profesi nelayan.
Penulis: Matheus Elmerio Manalu
Editor: Anniza Kemala
TRIBUNNEWS.COM, MALUKU UTARA - Mayoritas masyarakat yang tinggal di pesisir menggantungkan hidupnya dari laut, terutama mereka yang menggeluti profesi nelayan. Begitu juga para nelayan lokal yang tinggal di Pantai Kawasi, yang terletak di sebelah barat Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Akan tetapi, akhir-akhir ini tersiar kabar yang mengatakan bahwa Pantai Kawasi diduga telah tercemar logam berat nikel. Dugaan selanjutnya mengatakan bahwa hasil tangkapan ikan para nelayan lokal di Pantai Kawasi juga menurun. Tidak hanya itu, mereka juga terancam kehilangan mata pencahariannya karena ikan tangkapan mereka diduga beracun akibat pencemaran Laut Obi.
Tuduhan dan dugaan miring itu dibantah oleh masyarakat setempat, yang memang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Menurut warga, mereka hingga hari ini dapat terus melaut karena ikan di perairan sekitar Kawasi masih melimpah. Hasil tangkapan mereka pun dijual ke pasar setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun konsumsi sendiri, termasuk diserap oleh perusahaan
Salah satunya adalah Saidi Jouronga. Ia mengaku sampai detik ini masih menekuni profesinya sebagai nelayan. Pria 58 tahun yang sejak lahir tinggal di Kawasi ini setiap hari melaut dari pukul 6 pagi dan pulang menjelang petang.
“Tiap hari melaut, kecuali kalau cuaca sedang tidak bagus seperti karena ombak tinggi, baru kita di rumah. Kalau cuaca bagus, kita tidak bisa di rumah dan harus melaut karena untuk kebutuhan sehari-hari,” ungkap Saidi saat ditemui di tepian pantai Kawasi belum lama ini.
Kakek dengan 9 cucu itu mengaku mencari ikan di sekitar pantai Kawasi. Lokasi perairannya membentang di antara wilayah operasional Harita Nickel, perusahaan tambang dan hilirisasi nikel yang telah beroperasi sejak tahun 2010.
“Saya cari ikan di dekat-dekat sini saja. Dari Kawasi sampai Akelamo. Kalau ikan-ikan yang besar seperti Tuna dan Cakalang memang harus ke tengah laut. Tapi kalau terlalu ke tengah, lautnya dalam dan ombak juga besar. Saya juga pikir keselamatan,” tuturnya.
Hasil tangkapan setiap hari rata-rata 20-30 kg
Saidi dan para nelayan di Pulau Obi melaut dengan mengendarai perahu ketinting, perahu dengan mesin penggerak luar yang hanya mengangkut 3-4 orang. Perahu ketinting seperti ini juga umum digunakan untuk mengangkut hasil perikanan nelayan tradisional di berbagai daerah di tanah air.
Teknik mencari ikannya pun masih manual, seperti menggunakan pancing, tanpa peralatan lain. Saidi sendiri mengaku lebih sering menggunakan handline, senar pancing yang diulur sampai ke kedalaman tertentu untuk mengincar target tangkapan.
“Saya tarik terus ke atas cukup lama sampai sekitar tiga puluh menit. Kurang dua meter dari bodi perahu, saya lompat ke laut terus tangkap itu ikan,” terang Saidi ketika menceritakan kembali pengalamannya menangkap ikan Giant Trevally seberat 23,51 kg di perairan yang tak jauh dari bibir pantai.
Hasil tangkapannya itu menjadikan ia sebagai juara pertama pada turnamen memancing yang diadakan Harita Nickel baru-baru ini.
Saidi juga mengungkapkan hasil tangkapannya setiap hari rata-rata masih berkisar 20-30 kg, jenis ikannya pun beragam, dari Giant Trevally yang disebut sebagai Bobara oleh warga setempat, Kerapu, Kakap Merah hingga cumi-cumi. Sebagai gambaran, harga ikan per kilogram di pasar setempat berkisar antara Rp40 ribu hingga Rp50 ribu.
“Jadi kalau ada yang bilang di laut Kawasi tidak ada ikan, atau kalaupun ada ikannya, tidak mau makan karena airnya kotor, itu bohong besar. Saya lahir di Kawasi, sehari-hari mencari ikan di sini sampai hari ini, jadi saya tahu persis,” tegasnya.