Ini Alasan Mahkamah Konstitusi Tolak Pengadilan HAM
pemerintah memiliki peran yang sangat strategis untuk menentukan langkah kebijakan yang akan ditempuh dalam relasi internasional dengan negara lain.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Erik S
Mahkamah menegaskan latar belakang pembentukan UU 26/2000 yang tidak dapat dilepaskan dari "peran masyarakat intemasional kepada pemerintah Indonesia untuk segera mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur.
Pendirian pengadilan HAM ini merupakan salah satu bentuk usaha Indonesia untuk memenuhi kewajiban internasionalnya dengan memaksimalkan mekanisme hukum nasional dalam menangani pelanggaran HAM di dalam negerinya (exhaustion of local remedies).
Hal demikian ditujukan agar mencegah masuknya mekanisme hukum internasional untuk mengadili warga negara Indonesia yang diduga melakukan pelanggaran HAM yang berat karena dalam hukum internasional.
Mahkamah menilai pengadilan internasional tidak dapat secara serta merta menggantikan peran pengadilan nasional tanpa melewati peran pengadilan nasional.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan, pembahasan mengenai yurisdiksi selalu berkelindan dengan kedaulatan dan otoritas suatu negara.
Dalam hal ini, setiap negara yang berdaulat pasti memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan kewibawaan pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional.
Diakui secara universal, setiap negara memiliki otoritas mengatur tindakan-tindakan dalam wilayahnya sendiri dan tindakan lainnya yang dapat merugikan kepentingan nasional yang harus dilindungi.
Dalam konteks yurisdiksi universal, maka kepentingan yang harus dilindungi adalah kepentingan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime.
Sehingga, lanjut dia, merasa wajib untuk menghukum pelakunya tanpa perlu adanya titik pertautan antara negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan.
Baca juga: Komnas HAM: Dakwaan Jaksa Pada Sidang Pengadilan HAM Paniai Jauh Panggang Dari Api
Dalam pengertian demikian, adanya kesadaran serta kerja sama dari berbagai negara menjadi pijakan penting untuk melaksanakan yurisdiksi universal karena.
Jika tidak, dapat disalahartikan sebagai bentuk intervensi terhadap kedaulatan negara lain.
Dalam konteks ini, terdapat hal penting yang harus dipertimbangkan, yaitu dominannya muatan politik dalam pelaksanaan yurisdiksi universal karena terkait dengan willingness dari suatu negara untuk merelakan warga negaranya diadili oleh negara lain.
Menurut Mahkamah, yurisdiksi universal bukanlah sesuatu yang bersifat absolut, tetapi harus diseimbangkan dengan kewajiban internasional dan juga kepentingan-kepentingan lainnya dari suatu negara.
Sehingga suatu negara dapat menolak melaksanakan yurisdiksi universal apabila tidak dimungkinkan oleh dinamika politik, sosial dan ekonomi secara global atau kebutuhan dan kepentingan lainnya (rapidly changing situation).