Ini Alasan Mahkamah Konstitusi Tolak Pengadilan HAM
pemerintah memiliki peran yang sangat strategis untuk menentukan langkah kebijakan yang akan ditempuh dalam relasi internasional dengan negara lain.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Erik S
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sidang dengan perkara nomor 89/PUU-XX/2022 dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dan 8 hakim konstitusi lainnya, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (14/4/2023).
Baca juga: Putuskan Tolak Uji Materi Pengadilan HAM, MK Dinilai Abaikan Nilai-nilai Kemanusiaan
Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan pemerintah memiliki peran yang sangat strategis untuk menentukan langkah kebijakan yang akan ditempuh dalam relasi internasional dengan negara lain.
“Termasuk juga yang berkaitan dengan isu penegakan HAM dalam hal ini, pemerintah memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan segala aspek yang terkait dengan risiko atau dampak yang akan timbul sebagai ekses dari kebijakan politik luar negeri yang diambil, baik dari aspek hukum, politik, sosial maupun ekonomi,” kata Saldi Isra, sebagaimana dikutip dari laman MKRI, Jumat.
Dia bilang, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konsepsi ketahanan nasional dalam rangka mewujudkan daya tangkal dan daya tahan untuk menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan politik hukum HAM di Indonesia tidak hanya sekadar berpijak pada prinsip universalisme HAM.
Meski begitu, Indonesia tetap menjaga keberlakuan sosial-budaya berdasarkan prinsip partikularisme yang tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ideologi Pancasila.
Baca juga: MK Tolak Uji Materi Undang-Undang Pengadilan HAM
Oleh karena itu, Wahidudin menilai dalam pelaksanaan dan pemenuhan HAM, tetap harus diletakkan dalam koridor perlindungan terhadap kepentingan nasional tiap negara, sebagaimana telah ditentukan dalam konstitusi masing-masing negara.
“Dengan demikian, meskipun rumusan HAM dalam UUD 1945 memuat frasa "setiap orang", maka tidak secara otomatis menimbulkan tanggung jawab aktif bagi negara (pemerintah) Indonesia untuk melindungi hak asasi manusia tiap individu yang bukan warga negaranya,” ucapnya.
Wahiduddin Adams menambahkan, terkait dengan digunakannya frasa "setiap orang" pada rumusan mengenai hak-hak konstitusional dalam Bab XA UUD 1945 yang tidak mengenal adanya pembedaan antara hak asasi seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing, sangat mungkin menimbulkan kesalahpahaman apabila dilepaskan dari konteks perlindungan dan penegakan HAM yang menjadi tanggung jawab suatu negara.
Baca juga: Komnas HAM Harap Hakim Pengadilan HAM Paniai Bisa Periksa Lebih Teliti dan Lebih Adil
Karena, hal itu secara otomatis dapat diartikan memberikan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk berperan secara aktif dalam memberikan perlindungan kepada warga negara asing.
Meskipun perumusan frasa "setiap orang" dalam UUD 1945 dapat diartikan hak asasi tidak hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia, tetapi juga termasuk warga negara asing yang dijamin dan dilindungi oleh sistem hukum dan peradilan Indonesia.
Namun tidak berarti dalam sistem hukum Indonesia berlaku secara otomatis bahwa setiap orang harus diperlakukan dan mendapatkan hak yang sama tanpa mempertimbangkan status kewarganegaraannya.