Perludem: Medsos Ruang Abu-abu yang Bisa Timbulkan Disinformasi di Pemilu 2024
Direktur Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan berbagai platform media sosial sudah digunakan oleh para partai politik maupun kandidat calon
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan berbagai platform media sosial sudah digunakan oleh para partai politik maupun kandidat calon peserta pemilu.
Meski ada manfaat perihal pendidikan dan edukasi politik, namun medsos bak pisau bermata dua. Terdapat ruang abu-abu yang juga berpotensi menimbulkan disinformasi.
"Medsos tidak mungkin tidak digunakan. Hari-hari ini medsos sudah penuh setidaknya dengan citra diri para bakal calon," kata Khoirunnisa dalam diskusi publik secara daring bertajuk 'Kolaborasi Lindungi Pemilu dari Ancaman Disinformasi' pada Senin (17/4/2023).
"Ini ruang abu-abu yang bisa menimbulkan disinformasi," ungkapnya.
Khoirunnisa mengatakan fokus terhadap penanganan disinformasi di media sosial tak bisa cuma ketika masa kampanye berjalan. Tapi perlu dilakukan sejak dini. Mengingat kata dia, hampir dipastikan mayoritas masyarakat Indonesia setiap hari meluangkan waktunya berselancar di media sosial.
Berkenaan dengan itu, Perludem mendorong mewujudkan ekosistem digital yang demokratis menatap Pemilu Serentak 2024.
"Dengan adanya kekosongan kerangka hukum ini, maka yang didorong adalah ekosistem digital yang demokratis menuju pemilu 2024. kekuatannya mendeteksi, menganalisis, dan memperkuat," katanya.
Perludem sebelumnya menyebut tak menutup kemungkinan kembali terjadi pergeseran tren ancaman disinformasi pada tahun 2024. Hal ini berkaca dari pengalaman pemilu tahun 2014 dan 2019 lalu.
Perludem menerangkan bahwa tren persoalan disinformasi mulai terjadi pada pesta demokrasi tahun 2014, kemudian Pilkada 2017, dan Pemilu Serentak 2019.
Adapun bentuk disinformasi pada tahun 2014 punya tujuan untuk mengubah opini publik agar pilihan politik mereka berubah. Sehingga bentuk disinformasinya menyerang antar peserta pemilu.
Namun memasuki tahun 2019 bentuk disinformasi itu mulai menyerang penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu. Bentuknya seperti tata cara proses pemilu, serangan terhadap isu surat suara, hingga isu saat pencoblosan di TPS.
Baca juga: Komisi II DPR Minta KPU Buat Peraturan Persyaratan Permudah Caleg Daftar di Pemilu 2024
"Kalau 2019 itu sudah mulai menyerang penyelenggara, baik punya KPU maupun Bawaslunya, terkait tata cara proses pemilunya, tadi soal surat suara, dan bagaimana memilih di TPS," ungkap Khoirunnisa.