Pakar Pemilu Apresiasi KPU Revisi PKPU 10/2023 Soal Keterwakilan Perempuan
Titi menegaskan sudah sepantasnya KPU merevisi aturan tersebut, terkhususnya dalam Pasal 8 Ayat 2 itu.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum Pemilu Titi Anggraini mengapresiasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang merevisi Peraturan (PKPU) 10/2023 yang dinilai bermasalah terkait keterwakilan perempuan dalam pemilu.
Titi menegaskan sudah sepantasnya KPU merevisi aturan tersebut, terkhususnya dalam Pasal 8 Ayat 2 itu.
"Memang sudah sepantasnya KPU legowo dan bijaksana memutuskan untuk merevisi ketentuan Pasal 8 Ayat 2 PKPU 10/2023 agar kembali sejalan dengan UU Pemilu dan Konstitusi," kata Titi dalam keterangannya, Rabu (10/5/2023).
Sikap KPU ini disebut Titi akan membantu mengakselerasi gejolak publik sebab hal itu memang sesuatu yang niscaya diambil sebagai konsekuensi tindakan yang melawan hukum dan bertentangan dengan peraturan di atasnya, yakni Undang-Undang Pemilu.
Diketahui, KPU akan merevisi PKPU 10/2023 yang dinilai melanggar konstitusi.
Hal ini disampaikan oleh Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari dalam konferensi pers di Kantor KPU RI, Jakarta, Rabu pagi.
Keputusan untuk revisi PKPU ini lahir usai KPU bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI melakukan pertemuan dan pembahasan tertutup tertutup sehari sebelumnya.
Titi berharap publik dapat mengawal proses revisi ini supaya tidak adanya intervensi dari pihak-pihak lain yang ingin memuat kepentingan pribadi pun kelompok.
"Selain itu, publik perlu mengawal agar tidak ada elemen baik di DPR atau eksternal lainnya yang menolak atau menghalang-halangi setiap upaya koreksi atas aturan yang menyimpangi UU," ujarnya.
"Harus ada suara solid dari masyarakat untuk terus mengawal agar tidak terjadi pelanggaran serupa," tambah Titi.
Diketahui, Pasal 8 Ayat 2 PKPU 10/2023 dinilai melanggar UUD NKRI Tahun 1945 dan UU Pemilu.
Serta mematikan upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam pencalonan DPR dan DPRD.
Masalah dalam Pasal 8 Ayat 2 menyatakan hasil penghitung kuota 30 persen dibulatkan ke bawah apabila berupa pecahan dengan dua angka di belakang koma tak mencapai 50.
Baca juga: Bawaslu, KPU dan DKPP akan Bertemu Bahas PKPU Keterwakilan Perempuan 30 Persen
Ketentuan ini berbeda dengan regulasi Pemilu 2019 yang menggunakan pendekatan pembulatan ke atas berapa pun angka di belakang koma.
Sebagai contoh, di sebuah dapil terdapat 4 kursi anggota dewan dan partai politik hendak mengajukan 4 bakal caleg. Dengan ketentuan kuota 30 persen, berarti partai politik harus mengajukan 1,2 (satu koma dua) orang caleg perempuan.
Lantaran ada ketentuan pembulatan ke bawah, partai akhirnya hanya wajib mendaftarkan 1 caleg perempuan. Padahal 1 caleg perempuan dari 4 nama caleg presentasenya baru 25 persen, bukan 30 persen.
Pasal tersebut pun diubah menjadi:
"Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempeuan di setiap dapil, menghasilkan angka pecahan dilakukan pembulatan ke atas."