Komnas HAM Ungkap Tingginya Potensi Politik Uang pada Pemilu Terjadi di Wilayah Perbatasan
potensi politik uang di wilayah Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia dimungkinkan akan terjadi pada masa Pemilihan Umum (Pemilu) 2024
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap, potensi politik uang di wilayah Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia dimungkinkan akan terjadi pada masa Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.
Hal itu diungkapkan oleh Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah, berdasarkan temuan yang dilakukan di beberapa daerah termasuk Kalbar pada periode April sampai Mei 2023.
Anis menyebut, wilayah yang harus diperhatikan terutama Entikong, Kalbar yang berbatasan dengan daerah Kuching, Malaysia.
"Kalbar itu praktik politik uangnya adalah praktik jual beli suara dan transaksi politik di wilayah perbatasan, jadi di antara Entikong dan Kuching," kata Anis saat menyampaikan temuannya dalam Media Briefing di kawasan Jakarta Pusat, Jumat (12/5/2023).
Anis mengatakan, pada pemilu sebelumnya, politik uang banyak terdeteksi di wilayah-wilayah tersebut.
Atas hal itu, kondisi yang seharusnya terjadi pada masa lalu, harus menjadi gambaran untuk antisipasi pada Pemilu mendatang.
"Jadi ada yang dimasukkan ke Kuching ada yang dimasukkan ke Entikong. Jadi transaksi itu terjadi berbasis pada pengalaman pada pemilu sebelumnya," ucap dia.
Menurut dia, dasar yang menjadikan politik uang berpotensi terjadi di wilayah perbatasan negara, karena kurangnya pengawasan termasuk dari penyelenggara pemilu.
Atas hal itu, nantinya, Komnas HA akan memberikan beberapa rekomendasi dari hasil pemantauan kepada pihak-pihak terkait, terutama KPU dan Bawaslu.
"Nah potensi itu sebetulnya praktik jual beli suara di perbatasan ini kan perlu kami sampaikan karena di wilayah perbatasan itu pengawasannya sangat minimalis," tukas dia.
Sebelumnya, praktik politik uang berpotensi masih akan terjadi pada masa Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.
Sebagian besar di antaranya ditemukan di wilayah industri di Indonesia termasuk di Jawa Timur.
Hal itu sebagaimana temuan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dilakukan pada April hingga Mei 2023.
Komisioner Komnas HAM Saurlin Siagian mengatakan, terjadinya politik uang khususnya di Jawa Timur tersebut didasari pada tinggi nya angka masyarakat yang bekerja di kawasan industri namun terdaftar sebagai pemilih di desa tempat tinggalnya.
"Di Jawa Timur itu saya masuk ke data, ada 65 ribu perusahaan dari data kita, dan tenaga kerja atau buruh itu sekitar 3,95 juta dan problemnya adalah industri itu kan tersentralisasi ya, kompleks industri itu banyak di utamanya di Sidoarjo, tetapi mereka secara identitas berada di desa-desa atau di pedesaan," kata Saurlin saat menyampaikan temuannya dalam Media Briefing di Kawasan Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (12/5/2023).
Baca juga: Bawaslu Lakukan Pemetaan Kerawanan Jelang Pemilu 2024, di Antaranya terkait Politik Uang & SARA
Kata dia, dari jumlah jutaan pekerja atau buruh yang bekerja di kawasan industri itu, notabenenya memiliki waktu tempuh ke tempat tinggal sesuai KTP nya sekitar 5 hari.
Sementara, dalam aturannya, para pekerja itu harus menentukan pemilihan di desa tempat tinggalnya sesuai dengan daftar pemilih tetap (DPT) atau daftar pemilih sementara (DPS).
Sebagian besar dari para pekerja itu kata Saurlin memiliki problem yang sama yakni perihal hari kerja dan biaya untuk mencoblos.
"Tentu punya problematik tersendiri terkait biaya dan hari kerja. Nah pertama soal kependudukan, soal identitas kependudukan di sana apakah hatus memilih di mana desa tempat dia tinggal, antara TPS Vs tempat kerja," kata Saurlin.
Akhirnya, kondisi tersebut yang menurut temuan Komnas HAM kata Saurlin kerap dimanfaatkan oleh para peserta pemilu.
Mereka notabenenya memberikan fasilitas perjalanan untuk para pekerja atau buruh agar tetap bisa memberikan hak pilihnya.
"Kenapa kita arahkan ke politik uang? Karena pekerja atau asosiasi pekerja yang kami jumpai, jadinya dimobilisasi yang punya uang. Komplek-komplek indistri itu," kata dia.
"Siapa yang mobilisasi tentu kita tau arahnya siapa, siapa yang bayarin mereka berangkat dr satu tempat ke tempat lain, berbus bus. Potensinya di situ," sambung Saurlin.
Atas hal tersebut, Komnas HAM menilai, kemurnian soal pilihan politik dari masyarakat khusunya para pekerja di kawasan industri menjadi bermasalah.
Saurlin menyebut, temuan yang dilakukannya kali ini akan disampaikan kepada penyelenggar pemilu termasuk KPU dan Bawaslu serta kepada kementerian lembaga terkait, untuk difokuskan penanganannya.
"Genuine pemilihnya jadi menurun dong, karena ada yang mengarahkan, ada yang bayarin bus, perjalannya menuju rumahnya TPS nya sampai balik lagi sehingga memengaruhi pilihan-pilihan dari pekerja," tukas Saurlin.