Indonesia Perlu Waspadai Strategi Soft Power China di Kawasan Asia Tenggara
Indonesia disarankan selalu berhati-hati dan mewaspadai strategi kuasa lunak (soft power) China yang dijalankan negara itu di kawasan Asia Tenggara.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Wahyu Gilang Putranto
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia disarankan agar selalu berhati-hati dan mewaspadai strategi kuasa lunak (soft power) China yang dijalankan negara itu di kawasan Asia Tenggara dan juga terhadap Indonesia selama ini.
“Bangsa Indonesia harus tetap kritis dalam memandang Tiongkok. Boleh memuji dan menghargai sukses yang dicapai Pemerintah RRC dalam usahanya menjadikan negara dan bangsanya besar."
"Tetapi kritiklah hal-hal yang menurut kita tidak cocok, khususnya dengan aturan dalam pergaulan antar bangsa,” ungkap Profesor A Dahana, pendiri sekaligus penasihat Forum Sinologi Indonesia (FSI) dalam sambutan tertulisnya di acara diskusi bertajuk Menakar Ulang Kuasa Lunak Tiongkok di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis, yang diselenggarakan di Jakarta, Sabtu (20/5/2023).
Dahana berpendapat, Tiongkok kini sedang berusaha menjelma menjadi sebuah kekuatan imperial budaya yang pengaruhnya terus diperkuat dan disebarluaskan ke berbagai negara di dunia termasuk ke Indonesia melalui strategi soft power-nya.
Dahana juga mengingatkan bahwa selain berupaya menanamkan strategi soft power, China juga berupaya menjalankan kuasa keras (hard power) ke negara-negara lain.
Baca juga: Negara G7 Puji Keberhasilan Penyelenggaraan KTT Ke-42 ASEAN di Labuan Bajo
Hal ini antara lain terlihat dari sepak terjang Tiongkok di Laut Cina Selatan dan dari berbagai pelanggaran Tiongkok terhadap kedaulatan Indonesia di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEE) terutama di perairan dekat kepulauan Natuna.
Dr. R. Tuty N Mutia, pengajar senior pada Program Studi Cina Universitas Indonesia yang jadi pembicara di diskusi ini sependapat, bahwa China sejak lama dan hingga saat ini terus berupaya meningkatkan soft power-nya melalui beragam strategi ke Indonesia.
Antara lain melalui diplomasi publik dalam bidang budaya dan akademik, meningkatkan kerja sama dalam bidang akademik dan vaksin, dan memanfaatkan sejarah dengan mengungkapkan kembali memori kedekatan dua bangsa.
Namun menurut Tuty, ketiganya belum menunjukan hasil yang positif bagi peningkatan citra Tiongkok di mata masyarakat Indonesia.
Menurut Tuty strategi soft power yang konsisten dijalankan China selama ini adalah upaya untuk mempengaruhi pihak lain tanpa melalui kekerasan yang bisa didapatkan dari sumber daya budaya, politik dan kebijakan luar negeri.
Upaya China menjalankan strategi soft power demi memananamkan pengaruhnya di dunia internasional menurut Tuty tidak lepas dari strategi yang dicanangkan pemimpin China, saat itu, Hu Jintau di 2007.
"Hu Jintau di 2007 mulai mendorong upaya meningkatkan daya saing budaya Tiongkok di dunia," ujarnya.
Baca juga: Menlu Rusia: Keputusan KTT G7 di Jepang Bertujuan untuk Halangi China dan Rusia
Dia menambahkan, teori soft power oleh China ini dikembangkan oleh Joseph Nyc di era 1990-an.
"Indikator keberhasilan strategi soft power China ini bersifat jangka panjang, berbeda jika menggunakan hard power," ungkap Tuty.
"Pendirian Institut Confusius pertama kali di Korea tahun 2004 menjadi ujung tombak penyebaran bahasa dan budaya Tiongkok.
Tahun 2013 RRT mulai menggunakan investasi dalam kerangkan Belt Road Initiative sebagai sumber pendukung diplomasi soft power-nya dan kebangkitan China di akhir abad 21 menimbulkan kecurigaan Barat," beber Tuty.
Tuty menambahkan, China juga menggunakan beberapa strategi lainnya untuk menjalankan strategi soft power-nya, antara lain, merangkul umat Islam melalui pemberian beasiswa untuk para santri di Indonesia.
Dia menilai, strategi ini tak dapat dilepaskan dari upaya Tiongkok meredam isu Hak Asasi Manusia yang menimpa penduduk Muslim di Uyghur. Sebagai hasil dari strategi ini, terdapat sebagian alumni Tiongkok menyuarakan keunggulan Tiongkok akhir-akhir ini.
Strategi soft power lainnya yang dijalankan China menurut DR Tuty adalah pendirian Konfusius Institut (disebut di Indonesia sebagai Pusat Bahasa Mandarin atau PBM) yang dalam satu dasawarsa belakangan aktif memberikan beasiswa untuk mempelajari Bahasa Mandarin.
Namun berbeda dengan strategi di atas, strategi ini kurang membuahkan hasil.
“Para siswa penerima beasiswa cenderung memanfaatkan PBM hanya untuk penguasaan bahasa agar menunjang studi atau karirnya,” ujarnya.
Citra Tiongkok di mata masyarakat Indonesia hingga kini, berdasar hasil survei yang pernah dilakukannya, tetap belum positif.
Misalnya hasil survei di 2017, persepsi publik di Indonesia masih menganggap Tiongkok sebagai ancaman bagi Indonesia. "Investasi Tiongkok yang meningkat di Indonesia juga tidak berbanding lurus dengan peningkatan citra positif Tiongkok di Indonesia," ungkap Tuty.
Tuty mengingatkan agar Pemerintah Indonesia mengawasi persebaran dan aktivitas PBM mengingat kurangnya muatan berbasis budaya dan masyarakat Indonesia dalam pengajaran mereka.
“PMB seharusnya memperbanyak muatan lokal dalam materi ajar dan aktivitasnya, sehingga manfaat kehadirannya akan lebih bisa dirasakan,” pungkasnya.
Sementara itu, terkait dengan etnis Tionghoa, Tuty mengkritisi ajakan Tiongkok agar Tionghoa menjadi jembatan bagi hubungan Tiongkok dan Indonesia.
"Ajakan ini tidak selalu ditanggapi positif oleh Tionghoa. Pernah dalam seminar ada Tionghoa yang mengatakan, 'bagaimana kalau saya tidak mau jadi jembatan?'," pungkas Tuty.
Ia pun menyatakan bahwa Tionghoa tidak harus menjadi jembatan dalam hubungan Indonesia dan Tiongkok.
Tuty berpandangan, secara umum upaya Tiongkok meningkatkan soft power nya di Indonesia kurang memperoleh hasil maksimal. Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah narasi yang digunakan yang hanya memperlihatkan keunggulan Tiongkok.
“Narasi itu cenderung mengedepankan ‘keunggulan’ Tiongkok sehingga lebih terasa sebagai upaya ‘sinifikasi’ (pencinaan),” tutur Tuty.
Johanes Herlijanto, pemerhati Tionghoa asal Universitas Pelita Harapan yang juga ketua Forum Sinologi Indonesia menyoroti posisi komunitas Tionghoa dalam upaya Tiongkok meningkatkan soft power nya di Indonesia.
Sependapat dengan Tuty, Johanes juga menekankan pada adanya upaya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk merangkul komunitas Tionghoa untuk kepentingan peningkatan hubungan Indonesia dan Tiongkok dengan mendorong mereka menjadi jembatan.
Mengutip tulisan Charlotte Setijadi, Johanes mengatakan bahwa setidaknya sebagian dari pebisnis Tionghoa, khususnya dari generasi senior, tidak berkeberatan menjalani peran sebagai jembatan bagi hubungan kedua negara.
Namun yang menarik, ketika Tiongkok ingin merangkul Tionghoa Indonesia lebih dalam lagi, antara lain dengan menekankan hubungan khusus antara Tionghoa dan Tiongkok, sebagian komunitas Tionghoa justru melakukan penolakan.
“Seperti dicatat oleh Profesor Leo Suryadinata dalam berbagai tulisannya, beberapa pengusaha Tionghoa dan kaum muda Tionghoa menolak, bahkan mengkritisi upaya Tiongkok mengingatkan mereka akan hubungan mereka dengan Tiongkok sebagai ‘negeri leluhur,’” tutur Johanes.
Inilah yang menyebabkan Johanes beranggapan bahwa upaya Tiongkok menjadikan etnik Tionghoa sebagai bagian kuasa lunaknya akan sulit terwujud, mengingat di kalangan Tionghoa Indonesia, khususnya generasi muda, berkembang narasi yang mengedepankan keIndonesiaan mereka.
“Anak anak generasi sekarang lebih suka disebut sebagai Chinese Indonesian atau Chindo,” ujarnya.