ICW Sebut Putusan MK Soal Masa Jabatan Pimpinan KPK Tidak Memiliki Kadar Konstitusionalitas
Menurut Kurnia, masa jabatan selama empat tahun tidak bisa dikatakan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Erik S
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Summapow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut dikabulkannya permohonan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron, terhadap pengujian Undang-Undang (KPK) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) justru semakin menghancurkan lembaga antirasuah tersebut.
Alih-alih memperkuat KPK, melalui putusan No.112/PUU-XX/2022, MK malah memperpanjang masa jabatan pimpinan dari empat tahun menjadi lima tahun.
Baca juga: Perhimpunan Advokat Menyayangkan Putusan MK Soal Perubahan Masa Jabatan Pimpinan KPK Jadi 5 Tahun
"Putusan tersebut tentu tidak memiliki kadar konstitusionalitas sedikit pun. Betapa tidak, periodisasi masa jabatan pimpinan KPK sejatinya merupakan open legal policy dan hal tersebut merupakan kewenangan absolut dari pembentuk peraturan undang-undang, bukan MK," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya yang dikutip Rabu (31/5/2023).
Terlebih, sambung Kurnia, masa jabatan selama empat tahun tidak bisa dikatakan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, pimpinan KPK terpilih dan dilantik dengan masa jabatan yang pasti sebagaimana diatur dalam UU KPK.
Lebih lanjut, putusan MK ini pun dinilai akan berbuntut pada pengisian masa jabatan Pimpinan KPK periode 2024-2029, karena akan diproses oleh Presiden dan DPR periode baru pascapemilu 2024. Hal ini disebut Kurnia tidak bisa diterima oleh nalar.
"Bila dihitung berdasarkan masa habis jabatan, Presiden dan DPR baru akan berakhir pada Oktober 2024, sementara jabatan pimpinan KPK akan berakhir pada Desember 2024," tuturnya.
"Jika mengikuti alur pikir hakim MK yang demikian, maka pertanyaannya, apakah mungkin proses seleksi calon Pimpinan KPK dilakukan dalam jangka waktu kurang dari tiga bulan? Artinya, seleksi masih dalam masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo," Kurnia menambahkan.
Baca juga: KPK Tolak Klarifikasi ke Ombudsman soal Brigjen Endar: Tak Termasuk Ranah Pelayanan Publik
Berdasarkan Pasal 6 UU KPK disebutkan lembaga antirasuah itu bertugas dalam fungsi penegakan hukum melalui skema penindakan serta pencegahan. Tak satu pun pasal, kata Kurnia, mengatakan ihwal KPK dapat digunakan sebagai instrumen hukum kekuasaan.
"Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain, Presiden harus memberhentikan Firli pada Desember mendatang dan segera membentuk pansel untuk mencari Pimpinan KPK mendatang dengan masa kepemimpinan lima tahun sebagaimana dimandatkan oleh MK," tegasnya.
Sebelumnya, MK menerima gugatan uji materi tentang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) yang diajukan oleh pemohon Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Gugatan Nurul Ghufron terkait Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diterima MK. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan uji materiil masa jabatan pimpinan KPK tersebut dengan tiga alasan utama.
Sistem perekrutan pimpinan KPK dengan skema empat tahunan berdasar Pasal 34 UU 30/2002 telah menyebabkan dinilainya kinerja pimpinan KPK yang merupakan manifestasi dari kinerja lembaga KPK sebanyak dua kali oleh presiden maupun DPR terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK.
Baca juga: Firli Bahuri Cs Menanti SK Presiden Jokowi Terkait Penambahan Masa Jabatan Pimpinan KPK
"Karena dengan kewenangan DPR maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 kali dalam periode atau masa jabatan kepemimpinannya, berpotensi tidak hanya mempengaruhi independensi pimpinan KPK tetapi juga beban psikologis dan benturan kepentingan pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri," ucap Arief Hidayat.
Dalam amar putusannya, Anwar Usman menyatakan sejumlah dalil utama terkait putusan persidangan.
"Mengadili pertama mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," tegas Anwar Usman. Kedua disebut Anwar Usman menyatakan Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi,
"Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan".
Selain itu dalam putusannya, Anwar menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) yang semula berbunyi,
"Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan".
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.