Ahli Tata Negara Bivitri Susanti Sebut Masyarakat Kebingungan Membaca RUU Omnibus Law
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebutkan bahwa masyarakat memiliki kebingungan membaca Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebutkan bahwa masyarakat memiliki kebingungan membaca Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law.
"Dengan metode atau praktik rancangan peraturan yang dimiliki oleh Indonesia. Kita akan punya kebingungan sebenarnya dalam membaca RUU yang dibuat dengan teknik Omnibus Law ini," kata Bivitri dalam diskusi daring bertajuk Kepentingan Publik yang ada di RUU Kesehatan, Kamis (8/6/2023).
Bivitri melanjutkan kalau sudah membaca Rancangan Undang-Undang Kesehatan pasti paham apa yang ia maksudkan.
"Ataupun sudah membaca Undang-Undang Cipta Kerja pasti juga paham. Sebagai contoh satu Undang-Undang itu akan memuat misalnya dalam UU Cipta Kerja akan memuat untuk lingkungan hidup itu pasalnya diubah. Satu pasal seperti itu," sambungnya.
Kemudian Bivitri melanjutkan dari pasal tersebut bisa ada anak pasal lagi.
"Bawahnya anaknya itu bisa sepuluh pasal lagi. Karena satu pasal itu akan mengundang sepuluh pasal misalnya dalam UU Lingkungan Hidup. Kemudian lanjut pasal berikutnya satu pasal mungkin anaknya ada enam. Karena satu pasal bisa mengubah enam sampai tujuh pasal lainnya," jelasnya.
Begitu seterusnya kata Bivitri, sehingga cara membacanya akan bolak-balik.
"Kita harus membaca lagi pasal asalnya dan seterusnya. Jadi secara bahasa perundang-undangan bisa memuat materi baru atau mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan tentang suatu topik. Kemudian menggabungkannya menjadi satu dalam peraturan perundang-undangan," sambungnya.
Bivitri menegaskan jadi intinya begitu rumit metode Omnibus Law. Bahkan dikatakannya beberapa negara menghindari untuk menggunakannya.
Baca juga: Dukung Petisi RUU Omnibus Law Kesehatan, Fadel Muhammad: RUU Berpotensi Menyengsarakan Masyarakat
"Kemudian muncul pertanyaan sedemikian rumitnya mengapa ada? Jadi salah satu lembaga yang sudah melakukan studi banding metode Omnibus ini dan riset yang saya lakukan. Metode ini digunakan atau sebetulnya dijauhkan dari digunakan misalnya di Kanada, Inggris, Selandia Baru dan Jerman," tutupnya.