Akademisi & Pegiat HAM Soroti Revisi UU TNI, Khawatir Militer Kembali Seperti Tentara Era Orde Baru
Mereka takut revisi UU ini dikhawatirkan akan menjadi cek kosong kembalinya dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagian kalangan mengkritik rencana revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Revisi UU ini dikhawatirkan akan menjadi cek kosong kembalinya dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI.
"Kalau kita kilas balik, militer di era Orde Baru selain pertahanan negara (keamanan nasional: ancaman perang dari negara lain) juga menjalankan fungsi politik, keamanan dalam negeri, ketertiban umum dan penegakan hukum," Julius Ibrani, Ketua PBHI Nasional, dalam diskusi publik “Problematika Revisi UU TNI Ditinjau dari Perspektif Hukum, Politik dan Hak Asasi Manusia”, Kerjasama: PBHI dan FISIP Universitas Parahyangan Bandung, Rabu, 21 Juni 2023.
Menurut Julius, di masa Orde Baru adalah berciri negara militer (military state), oleh karena itu ia sudah pasti otoriter, tidak ada hak asasi manusia, tidak ada supremasi sipil dan tidak ada demokrasi.
"Negara yang jadi fokus, bukan pada manusianya. Kami melihat ciri-ciri dan peran-peran militer di era Orde Baru itulah akan dimintakan kembali dalam rencana revisi UU TNI ke depan," ujarnya.
Ia menilai,langgam politik setelah 1998 belum mengubah total langgam politik ke arah demokrasi, karena tidak ada transformasi militer ke arah professional.
"Tidak ada diferensiasi yang tegas antara sipil dan militer. Reformasi peradilan militer belum dijalankan, hingga hari ini anggota TNI yang melakukan pidana umum masih diadili sendiri oleh militer sendiri, bukan peradilan umum."
Menurutnya, draft revisi UU TNI anti reformasi dan anti demokrasi.
Baca juga: Kapuspen Tegaskan Video Terbaru Dukungan TNI Untuk Anies Baswedan Hoaks, Ungkap Sosok sang Buzzer
Indikasinya revisi tersebut akan memiliterisasi ranah sipil, penempatan perwira aktif pada jabatan sipil (Dwifungsi), offside kewenangan semissal, penanganan narkotika, semenara perkembangan di dunia saat ini pendekatannya adalah medis.
"Nah di Indonesia malah tentara mau dikasih kewenangan; keamanan dalam negeri, impunitas terhadap kejahatan anggota militer termasuk terhadap pelanggaran HAM, pembangunan postur kekuatan militer lepas dari kontrol Kontrol presiden dan menjadi kekuatan politik sendiri," ujarnya.
Apalagi, sambungnya, karena bentuk struktur militer mirip dengan pemerintah sampai ke level di daerah. Kemudian juga secara anggaran militer bisa menyusun dan mengelola anggaran sendiri, termasuk memperoleh anggaran dari luar APBN pertahanan, seperti swasta, dll.
"Revisi UU TNI harus ditolak, karena akan menjauhkan TNI dari marwahnya sebagai alat pertahanan negara," tandasnya.
Urgensi Revisi UU TNI
Masih dalam diskusi yang sama, Vrameswari Omega Wati, Dosen Hubungan Internasional Unpar, mengungkapkan terdapat gap antara pengaturan ideal dan dan fakta empiris dalam revisi UU TNI.
"Apa saja? yaitu pertama; apa urgensi revisi UU TNI. Kedua, apakah revisi UU TNI menyentuh isu-isu yang bersegesekan dengan vital interest. Ketiga, seperti apa sebenarnya interpresasi revisi UU TNI yang diinginkan, apakah national atau organization interest?" katanya.
Ia mencontohkan, jabatan wakil panglima yang diusulkan dalam draft revisi UU TNI akan menimbulkan redundan, misalnya dengan panglima komando wilayah pertahanan.
"Dengan demikian maka draft revisi UU TNI lebih terlihat berkaitan dengan urusan organisational interest ketimbang defends matter," katanya.
Dengan demikian urgensi Revisi UU TNI menjadi pertanyaan, apa urgensinya? Kalau untuk alasan profesionalisme TNI, tapi sementara isinya justru banyak urusan non-pertahanan seperti soal jabatan di kementerian, lembaga, dan sebagainya."