Pemerintah Diminta Tidak Gunakan Teknologi CCUS untuk Turunkan Emisi Karbon karena Biayanya Mahal
IEEFA menyatakan bahwa penggunaan CCUS untuk sektor kelistrikan tidak murah, untuk biaya “tangkapnya” saja mencapai 50-100 dollar AS/ton
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana memasukkan teknologi penangkap dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dalam skema dana transisi energi atau Just Energy Transition(JETP).
Sebelum ini pun, ESDM mendorong memasukkan proyek pembangkit gas fosil sebagai upaya menggantikan pembangkit listrik tenaha diesel (PLTD) yang diklaim efektif untuk menurunkan emisi karbon.
Rencana pemerintah menggunakan CCUS dalam upaya menurunkan emisi karbon tidaklah tepat dan malah menghambat Indonesia mencapai target dekarbonisasi.
Sebab, teknologi ini terlalu mahal dan tidak terbukti efektif untuk menjadi solusi dekarbonisasi. Ia bisa menjadi praktik “greenwashing” perusahaan energi dan rawan mengalihkan dana transisi energi seperti JETP dari solusi yang lebih terbukti.
Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyatakan bahwa penggunaan CCUS untuk sektor kelistrikan tidak murah, untuk biaya “tangkapnya” saja mencapai 50-100 dollar AS/ton.
Karena itu adopsinya di dunia internasional lamban, dan penerapannya di beberapa tempat dinilai gagal akibat ongkos yang terlalu besar dan efisiensi yang rendah (lihat catatan).
Baca juga: Turut Bantu Kurangi Emisi Karbon, Jasa Raharja Tanam 1.000 Pohon Di Lampung
“Ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk tidak mendorong proyek CCUS, apalagi jika menggunakan pendanaan JETP, hal ini hanya akan menghasilkan kerugian ekonomi dan kegagalan dalam menangkap emisi karbon”, ujar Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri dalam pernyataannya, Sabtu(24/6/2023) malam.
Dana JETP diperoleh dari negara anggota International Partners Group (IPG) yang berkomitmen memberikan 20 miliar dolar AS untuk membantu usaha dekarbonisasi Indonesia.
Sayangnya dalam perhelatan KTT G7 beberapa waktu lalu, Jepang selaku anggota IPG dan tuan rumah KTT malah mendorong Green Transformation (GX)
Policy yang memuat perluasan penggunaan LNG, PLTU batubara dengan co-firing ammonia, hydrogen, hingga CCS.
“Kita patut mempertanyakan komitmen negara anggota IPG dan mitra negaranya termasuk Indonesia dalam keseriusan mengatasi krisis iklim karena komitmen tersebut masih belum tercermin dalam tindakan nyata malah sebaliknya sibuk mendorong penggunaan teknologi solusi palsu”, ujar Novita.
Teknologi CCUS yang mahal dan riskan tidak seharusnya masuk dalam skema JETP. Ia hanya upaya kosmetik yang membantu industri energi fosil melindungi kepentingan bisnis mereka, dan malah berpotensi menghambat Indonesia dari target dekarbonisasi dan mencapai target Perjanjian Paris.
Begitu pula dalam ekstraksi gas dan minyak yang notabene masih menyokong ekstraksi fosil, teknologi ini tidak boleh digunakan.
Para ilmuwan IPCC telah memperingatkan kita semua bahwa laju angka pemanasan global telah mencapai 1,1°C akibat penggunaan energi fosil, dan aksi iklim yang dilakukan masih belum cukup dalam mengatasi dampak krisis iklim.
Seketaris Jenderal PBB Antònio Guterres bahkan menyatakan bahwa saat ini kita berjalan menuju bencana, begitu banyak industri energi kotor yang bersedia mempertaruhkan semuanya pada angan-angan, teknologi yang belum terbukti, dan solusi muluk daripada bertindak mengurangi produksi energi fosil itu sendiri.
“Aksi iklim seharusnya dilakukan secara serius, ambisius, tanpa memasukkan solusi palsu, dan dengan segera mengakhiri ketergantungan terhadap energi fosil untuk dapat memastikan masa depan berkelanjutan bumi yang layak ditinggali untuk semua”, tegas
Novita
Pemerintah tidak seharusnya mendorong ketergantungan pada teknologi seperti CCUS di sektor kelistrikan, yang lebih mahal dan tidak kompetitif dibanding investasi energi terbarukan yang biayanya semakin menurun.
Sudah seharusnya pemerintah lebih ambisius dalam mendorong penggunaan energi terbarukan yang adil dan sejalan dengan target Perjanjian Paris dalam menahan laju kenaikan suhu global dibawah 1,5 °C. (Willy Widianto)