Fraksi Demokrat dan PKS Tolak Disahkannya RUU Kesehatan jadi Undang-undang, Ini Alasannya
Alasan Fraksi Demokrat dan PKS menolak disahkannya RUU Kesehatan menjadi Undang-undang (UU).
Penulis: Rifqah
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Berikut alasan Fraksi Demokrat dan PKS menolak disahkannya RUU Kesehatan menjadi Undang-undang (UU).
Diketahui, DPR resmi mengesahkan RUU Kesehatan menjadi UU pada hari ini, Selasa (11/7/2023).
Dalam rapat tersebut, enam fraksi menyetujui RUU Kesehatan menjadi UU, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PAN, dan PPP.
Sementara, satu fraksi, yakni NasDem menerima dengan catatan. Kemudian dua fraksi, yakni Demokrat dan PKS menolak RUU Kesehatan menjadi UU.
Partai Demokrat menolak disahkannya RUU Kesehatan karena menilai adanya indikasi pesanan dari luar yang ingin membangun bisnis kesehatan di Indonesia.
Hal tersebut didasari karena Indonesia memiliki potensi penduduk keempat terbesar di dunia.
Baca juga: Demokrat Dukung Nakes Lakukan Mogok Kerja Buntut Disahkannya RUU Kesehatan Jadi UU: Itu Hak Mereka
"Undang-undang ini terindikasi pesanan dari para pihak yang ingin membangun bisnis kesehatan di Indonesia, kenapa? Karena Indonesia memiliki potensi penduduk keempat terbesar di dunia," kata Legislator Demokrat Komisi III, Santoso saat ditemui di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa.
"Undang-undang ini memberikan peluang yang cukup besar terhadap masuknya usaha-usaha di bidang kesehatan dari luar negeri. Ini yang menjadi dasar kita agar undang-undang kini tetap kita tolak," jelasnya.
Selain itu, Santoso juga menyinggung mengenai Mandatory Spending.
"Tentang mandatori spending dimana Undang-undang existing itu mengisyaratkan anggaran kesehatan 10 persen tapi ternyata itu dihapus. Sekarang yang 10 persen saja masih banyak rakyat yang tidak bisa berobat," kata Santoso.
"Bagaimana kalau itu dihapus? Kemudian bahwa organisasi profesi dalam RUU Kesehatan ini ditiadakan. Sementara Undang-undang existing yang ada, ada Undang-undang Keperawatan, Kebidanan, itu akan dihilangkan," imbuhnya.
Alasan Fraksi PKS Tolak RUU Kesehatan Jadi UU
Perwakilan dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani sekaligus Anggota Komisi IX DPR menyampaikan beberapa pertimbangan mengenai alasan PKS menolak RUU Kesehatan disahkan sebagai Undang-undang.
Netty menyampaikan, bahwa proses penyusunan Undang-undang RUU Kesehatan ini merupakan bentuk preseden yang kurang baik bagi proses legislasi ke depan.
"Karena pembahasan yang terkesan tergesa-gesa ini juga mengakibatkan tidak tercapainya meaningfull participation," ungkapnya, dikutip dari YouTube Kompas TV, Selasa.
Fraksi PKS juga mempertimbangkan beberapa catatan dari Bappenas yang menyebutkan bahwa ada sembilan dari sepuluh prioritas kesehatan yang tidak tercapai.
Hal tersebut termasuk angka stunting di Indonesia yang masih tinggi, yakni berada di angka 21 persen.
Kemudian juga angka kematian ibu dan bayi yang juga masih menjadi masalah nasional di Indonesia.
"Oleh karena itu, Fraksi PKS bependapat ditiadakannya pengaturan alokasi wajib anggaran Mandatory Spending kesehatan dalam RUU Kesehatan merupakan sebuah kemunduruan bagi upaya menjaga kesehatan masyarakat Indonesia," kata Netty.
Baca juga: CISDI: Pengesahan RUU Kesehatan Terburu-buru dan Tidak Transparan
Disebutkan, dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 sebelumnya, mengatur alokasi dana pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebesar masing-masing lima persen.
Kebutuhan dana kesehatan Indonesia sebagai negara berkembang justru meningkat dari wkatu ke waktu karena semakin kompleksnya masalah kesehatan di masa mendatang.
Fraksi PKS berpendapat, bahwa Mandatory Spending untuk menyediakan pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dengan ketersediaan jumlah anggaran yang cukup.
"Dengan adanya Mandatory Spending, maka jaminan anggaran kesehatan dapat teralokasi secara adil dalam rangka menjamin peningkatan derajat kesehatan masyarakat," ucap Netty.
Oleh karena itu, Fraksi PKS memandang Mandatory Spending adalah ruh dan bagian terpenting dalam RUU Kesehatan.
Fraksi PKS menginginkan terwujudnya kesehatan murah, kerja murah bagi masyarakat Indonesia, sehingga aturan yang dihadirkan harus berpihak kepada masyarakat luas dan bukan kepada pemilik modal.
Nakes Nilai DPR Semaunya Sendiri
Ketua Bidang Hukum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tangerang Selatan, Panji Utomo menilai DPR semaunya sendiri ketika mengesahkan RUU Kesehatan menjadi Undang-undang (UU).
Lantaran, menurut Panji dibandingkan dengan jumlah anggota DPR dalam satu komisi, lebih banyak gabungan dokter dan perawat di Indonesia.
"Itu dia. Jadi gini. Anda bisa bayangkan, mereka satu komisi dari satu fraksi, satu partai. Dari satu komisi berapa orang? Sementara kita dokter saja jumlahnya, sudah dilihat 77 ribu. Perawat hampir 10 ribu, mungkin lebih dari itu," kaya Panji ditemui di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa.
"Sekarang kalau kita gabung apakah bisa mewakili. Harusnya dia (DPR) bicara secara terstruktur kelembagaan, tapi enggak lakukan. Artinya, yang tadi DPR semaunya sendiri aja," tegasnya.
(Tribunnews.com/Rifqah/Rahmat Fajar Nugraha)