Pegiat HAM Nilai Revisi UU TNI Akan Menambah Panjang Daftar Produk Legislasi yang Bermasalah
Revisi UU TNI ini jelas menambah panjang produk legislasi yang bermasalah dan merugikan masyarakat dan demokratisasi di Indonesia.
Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegiat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang Ignatius Radhite mengkritik rencana revisi undang-undang TNI.
Menurutnya, hal itu akan memperluas kewenangan TNI dalam mengamankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sudah didikte oleh kelompok oligarki.
"Hal ini dapat dilihat dari penambahan tugas-tugas operasi militer selain perang di dalam draf revisi undang-undang TNI. TNI menjalankan tugas-tugas keamanan seperti dalam pemberantasan narkotika atau kejahatan cyber ini sudah di luar dari tugas pokoknya TNI," katanya dalam Catatan Diskusi “Problematika Revisi UU TNI Ditinjau dari Perspektif Hukum, Politik, dan Hak Asasi Manusia” yang digelar LBH Semarang dengan Imparsial di Semarang, Kamis (13/7/2023).
Baca juga: Panglima TNI Mutasi 176 Perwira Tinggi, 44 Diantaranya dari TNI AU, Berikut Daftar Nama-namanya
Dikatakannya, revisi undang-undang TNI memberikan ruang bagi TNI untuk melakukan penangkapan dalam kasus-kasus tertentu seperti narkotika, sementara sudah ada lembaga khusus yang bertugas untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan yang bersifat khusus tersebut.
"TNI tidak dibekali dengan hukum acara sebagai penegak hukum untuk melakukan proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan tersebut termasuk ketika terjadi kesalahan atau pelanggaran terhadap proses penangkapan atau penanganan kasus-kasus kejahatan tadi."
"Tidak ada mekanisme komplain atau uji terhadap penegakan hukum yang dilakukan oleh TNI, kalau di Polri atau KPK misalnya bisa di-praperadilankan," ujarnya.
Selain itu, sambungnya, draft ini juga mengatur bahwa institusi Kejaksaan Agung juga boleh diisi oleh TNI aktif.
Baca juga: Lebih Dari 7.500 Personel Hingga Kapal Selam Akan Digelar Dalam Latihan Gabungan TNI 2023
"Fungsi Kejaksaan Agung sejatinya adalah untuk melakukan penyidikan, sementara aktor pelanggaran HAM ini rata-rata adalah TNI, Bagaimana mungkin penyidikan dan penuntutan pelanggaran HAM berat oleh kejaksaan kemudian dapat independen," katanya.
Ia berpendapat, Revisi UU TNI ini jelas menambah panjang produk legislasi yang bermasalah dan merugikan masyarakat dan demokratisasi di Indonesia.
Di tempat yang sama, Peneliti BRIN Muhammad Haripin menilai terdapat sejumlah persoalan dalam draf revisi UU TNI yang beredar belakangan ini.
Di antaranya adalah terkait “command and control”, yaitu dihapusnya kewenangan institusi sipil dalam hal ini Presiden dan DPR untuk mengendalikan pengerahan TNI.
Hal ini, menurutnya, tentu menyalahi prinsip supremasi sipil atas militer dan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara yang seharusnya berada dalam kendali otoritas sipil.
Selain itu juga ada persoalan terkait peradilan militer sebagai satu-satunya sistem peradilan yang mengadili pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh prajurit TNI.
"Kemudian ada juga terkait anggaran pertahanan yang dapat diajukan langsung oleh Panglima TNI kepada kementerian Keuangan tanpa harus melalui kementerian Pertahanan," katanya.
Serta posisi keberadaan prajurit TNI aktif di jabatan sipil yang semakin diperluas di dalam draft usulan revisi UU TNI tersebut.
Lebih dari itu juga terdapat perluasan bentuk-bentuk operasi militer selain perang (OMSP), dari 14 bentuk bertambah menjadi 19.
"Usulan revisi terhadap UU TNI ini memang sudah sejak lama dilakukan, namun baru pada tahun 2019 ada naskah akademiknya yang secara resmi kita dapatkan dari Kementerian Hukum dan HAM," katanya.
Baca juga: Survei LSI: Kepercayaan Publik kepada TNI Tertinggi, Disusul Terhadap Presiden dan Kejaksaan
Namun, menurut Harpin, dalam naskah akademik dari Kemenkum HAM ini revisi UU TNI hanya menyangkut 3 hal, yaitu; istilah departemen pertahanan diubah menjadi kementerian pertahanan; penambahan pos atau jabatan di institusi sipil bagi perwira TNI aktif; serta usulan perpanjangan usia pensiun perwira dan tamtama.
"Hanya 3 poin ini saja. Sementara powerpoint RUU TNI Babinkum TNI menjadi menjalar kemana-mana, tidak selaras dengan naskah akademik dari kemenkumHAM."