Ombudsman RI: Pemerintah Harus Membuat Terobosan EBT
- Energi fosil yang digunakan sehari-hari saat ini terus mengalami defisit sehingga diperlukan adanya eksplorasi pada hulu yang membutuhkan biaya maha
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, TERNATE - Energi fosil yang digunakan sehari-hari saat ini terus mengalami defisit sehingga diperlukan adanya eksplorasi pada hulu yang membutuhkan biaya mahal dan membebani APBN.
Bahkan subsidi yang diberikan oleh pemerintah pada kenyataannya banyak yang tidak tepat sasaran, banyak yang diambil oleh pihak-pihak industri tambang dan perkebunan.
“Bilamana tidak dibatasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) ini pastinya anggaran APBN akan terus menggerus seiring dengan penanganan BBM fosil yang sedemikian besar dengan jumlah yang terbatas dan sulit untuk diperbaharui. Penanganan dari pemerintah harus membuat trobosan untuk menghasilkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dengan menggunakan bio energi seperti laut, panas bumi, dan lain lain,” kata oleh Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto.
Hal itu disampaikan Hery saat menjadi Keynote Speaker dalam Seminar Nasional 2023 “Membangun Green Energy Pelayanan Publik Sektor Kelistrikan” yang diselenggarakan oleh Gerakan Pemuda Ansor Maluku Utara, Rabu (12/07/2023) di Royal Resto Kota Ternate.
Dalam paparannya Hery menjelaskan bahwa pemerintah telah menargetkan rasio electrification 100 persen pada tahun 2022.
Berdasarkan rasio elektrifikasi dari Kementerian ESDM, diketahui bahwa pada tahun 2020, rasio elektrifikasi di Indonesia telah mencapai 99,2 persen, dengan empat provinsi yang masih memiliki rasio elektrifikasi 90-95 persen dan satu provinsi yang memiliki rasio 88 persen yaitu Nusa Tenggara Timur.
“Faktanya merealisasikan rasio elektrifikasi secara tuntas di Indonesia ini tidaklah mudah. Masih ada tantangan yang dihadapi terutama pada wilayah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T). Misalnya, ada beberapa daerah yang sulit dijangkau karena sulitnya akses, minim infrastruktur, atau wilayah dengan penduduk yang tinggal berjauhan sehingga sulit membangun akses listrik secara komunal di wilayah tersebut,” terang Hery.
Beranjak dari permasalahan tantangan di wilayah 3T, Hery menyarankan untuk mengelola energi pada hulu dengan menggunakan green energy dengan program Energi Baru Terbarukan (EBT) yang didistribusikan sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan EBT di setiap wilayah.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, terdapat beberapa jenis pembangkit EBT, seperti pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBg), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTM), pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan pembangkit lainnya, baru memenuhi sekitar 14,37% dari total kapasitas terpasang pembangkit nasional.
“Indonesia memiliki target EBT sebesar 23% pada bauran energi nasional pada tahun 2025. Kebijakan ini, yang dipadukan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 29% pada tahun 2030, merupakan upaya yang jelas menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjuta,” ungkap Hery.
Baca juga: Pemanfaatan EBT: Indonesia di Fase Transisi Energi, Tantangan Terbesar di Dukungan Infrastruktur
Hery menambahkan bahwa Indonesia memiliki target Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada bauran energi nasional pada tahun 2025.
Kebijakan ini, yang dipadukan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 29% pada tahun 2030, merupakan upaya yang jelas menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Hery juga mengungkapkan bahwa pengembangan pembangkit berbasis EBT di Indonesia memiliki beberapa tantangan di antaranya adalah potensi EBT yang cukup besar namun lokasi yang tersebar. Sosialisasi dan edukasi yang sistemik dan berkesinambungan diperlukan untuk meminimalkan resistensi masyarakat terhadap proyek pembangkit listrik berbasis EBT.
Selain itu, tantangan lainnya adalah ketersediaan pinjaman lunak di dalam negeri yang masih terbatas, keterbatasan ketersediaan infrastruktur pendukung khususnya di wilayah Indonesia Timur, ketergantungan pada teknologi dan perangkat EBT dari luar negeri yang masih tinggi, serta tidak semua pembangkit listrik EBT dapat terintegrasi dan terkoneksi dengan sistem ketenagalistrikan setempat, terutama untuk pembangkit listrik yang memiliki karakteristik intermittent.