Pemerintah dan DPR Disebut 'Kibuli' Publik Terus Tunda RUU Perampasan Aset
Pemerintah dan DPR tidak memperlihatkan sedikitpun komitmennya mempercepat persetujuan penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Yayasan ASA Indonesia Syamsuddin Alimsyah menilai pemerintah dan DPR tidak memperlihatkan sedikitpun komitmennya mempercepat persetujuan penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Ia pun mengatakan kuat kesan pemerintah dan DPR sengaja mengulur waktu bahkan 'mengibuli' publik seolah–olah karena ada agenda lain yang lebih mendesak.
Syam demikian biasa disapa, menjelaskan RUU perampasan aset sesungguhnya adalah kebutuhan yang mendesak dan akan menjadi sebuah aturan yang bertujuan untuk mengejar aset hasil kejahatan, meski tanpa menggugurkan pidana bagi pelaku kejahatan.
"Curiganya para pejabat kita memang tidak ada niat untuk menetapkan RUU ini. Kalaupun ada selama ini proses jalan sekadar bagian dari alur drama saja, seolah komitmen tapi niat saja tidak. Apalagi dalam RUU ini jelas, semua pejabat harus melaporkan kekayaannya. Bila mana ada hasil kekayaan mencurigakan dan tidak bisa dibuktikan keabsahan sembernya, maka negara bisa melakukan aksi sita. Sepertinya mereka belum rela kalau ini berlaku," ujar Syam dalam keterangan yang diterima.
Baca juga: Pemerintah Tak Bisa Perintahkan DPR untuk Bahas RUU Perampasan Aset, Yasonna: Kami Lobi Terus
Masih menurut Syam, berdasarkan catatan ASA Indonesia, gagasan pentinganya pembentukan RUU Perampasan Aset sesungguhnya sudah ada sejak tahun 2008 berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Pusat Penelitian dan Analisis Transkasi Keuangan (PPATK).
Ibarat gayung bersambut, Pemerintah merespons gagasan tersebut.
Bahkan tahun 2012 sempat diusul ke DPR untuk dibahas.
Baca juga: Menkumham Pastikan RUU Perampasan Aset Dibahas di DPR: Itu Prioritas Kita
Sayangnya terus mengalami penundaan dan tidak pernah masuk dalam daftar prioriotas legislasi nasional (Prolegnas).
Tahun 2020, pemerintah kembali mendorong agar RUU tersebut masuk daftar prioritas Prolegnas (Program Legislasi Nasional).
Namun, lagi-lagi tidak masuk Prolegnas.
Begitu pula di tahun 2022 Pemerintah dan DPR sepakat menunda atau setidaknya belum membahas RUU Perampasan Aset dengan alasan ingin lebih fokus dengan RUU Cipta Kerja.
"Dan ini satu indikasi sebenarnya kalau DPR dan Pemerintah memang tidak serius dengan RUU perampasan Aset, Bahkan publik ingat RUU Cipta Kerjalah yang sesungguhnya paling banyak menuai kontroversi," ujarnya.
Ia menambahkan karena DPR dan Pemerintah mengabaikan aspirasi masyarakat akhirnya UU Cipta Kerja diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasil putusan MK saat itu menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarakat oleh Mahkamah Konsitusi.