Pengamat Sebut SEMA Larangan Pencatatan Nikah Beda Agama Harusnya Dicabut: Itu Ngaco
Bivitri mengatakan, SEMA bukan merupakan sebuah peraturan, melainkan pedoman untuk hakim.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Johnson Simanjuntak
"Justru enggak boleh ada tindaklanjut karena levelnya cuma SEMA. Saya bilang cuma ya karena memang itu bukan peraturan. Jadi enggak boleh ada yang disesuaikan berdasarkan SEMA," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan larangan untuk hakim mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
Baca juga: SETARA Institute Desak Mahkamah Agung Cabut SEMA Larangan Nikah Beda Agama
Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023.
Juru Bicara MA Suharto mengatakan, SEMA tersebut ditujukan kepada Ketua Pengadilan Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.
"Isinya memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan," kata Suharto, saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (21/7/2023).
Kemudian, Suharto menjelaskan, SEMA tersebut dikeluarkan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, yang merujuk pada Undang-Undang (UU).
"Tujuannya jelas untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dan itu juga merujuk pada ketentuan Undang-Undang. Itu sesuai fungsi MA," ucapnya.
Ia menegaskan, SEMA bukan regulasi atau aturan, melainkan pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara pemohonan pencatatan perkawinan beda agama.
"SEMA itu prinsipnya bukan regulasi, tapi pedoman atau petunjuk, dan rujukannya juga Pasal 2 UU Perkawinan," kata Suharto.
"MA menjalankan fungsi pengawasan seperti yang diatur dalam Pasal 32 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU MA," sambungnya.
"SEMA dipedomani ke depan, artinya ke depan bila hakim mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan beda agama, agar mepedomani SEMA tersebut yang mengacu pada Pasal 2 UU Perkawinan."
Diberitakan sebelumnya, larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang di tanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin.
Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 itu memaparkan mengenai ‘Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.'
MA meminta pengadilan merujuk pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam aturan tersebut perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.