Dilaporkan ke Dewas KPK Terkait Kasus Basarnas, Alexander Marwata: Tidak Bermutu, Emang Gue Pikirin
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata merespons pelaporan terhadap dirinya ke Dewan Pengawas (Dewas).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata merespons pelaporan terhadap dirinya ke Dewan Pengawas (Dewas).
Adapun Alex dilaporkan oleh Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) ke Dewas karena disinyalir telah melanggar etik terkait sengkarut penanganan kasus dugaan suap di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).
"Bilang ke MAKI, emang gue pikirin (EGP). Terserah MAKI mau melaporkan apa saja, saya enggak peduli," kata Alex kepada wartawan, Kamis (3/8/2023).
Alex menganggap laporan MAKI bukan suatu hal yang patut ditanggapi.
Bahkan Alex berani menyebut laporan MAKI tidak bermutu.
"Ngapain mikirin laporan MAKI yang enggak bermutu," katanya.
Sebelumnya, MAKI melaporkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata ke Dewan Pengawas pada Rabu (2/8/2023).
Alex dilaporkan terkait ucapannya yang menyebut bahwa KPK belum menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi.
"Bahwa ternyata di kemudian hari, diketahui KPK tidak pernah menerbitkan sprindik atas nama Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai dasar penetapan status tersangka," kata kuasa hukum MAKI, Kurniawan Adi Nugroho, di Kantor Dewas KPK, Jakarta Selatan, Rabu (2/8/2023).
Padahal, lanjut Kurniawan, sprindik adalah dasar diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang berdasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) harus diberikan kepada jaksa penuntut umum (JPU) dan tersangka dalam jangka waktu maksimal 7 hari sejak terbit sprindik.
"Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum penetapan tersangka oleh KPK sebagaimana dinyatakan oleh terlapor (Alex Marwata) terhadap Henri Alfiandi (Kepala Basarnas) adalah tidak sah karena tidak didasari adanya sprindik," katanya.
Menurut MAKI, pimpinan KPK seharusnya melakukan koordinasi dengan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI untuk membentuk tim penyidik koneksitas sebelum menetapkan dan mengumunkan tersangka Henri Alfiandi.
Namun, yang terjadi Alex sudah mengumumkan penetapan tersangka Henri Alfiandi sebelum terbentuknya tim koneksitas.
"Namun Alex Marwata melakukan pengumuman penetapan tersangka adalah diduga melanggar wewenang selaku pimpinan KPK," kata Kurniawan.
Kurniawan menambahkan, pimpinan KPK lainnya harus ikut bertanggungjawab atas penyampaian penetapan tersangka yang dilakukan Alex.
Sebab, pimpinan KPK lainnya dinilai mengetahui materi konferensi pers yang akan disampaikan oleh Alex.
"Pimpinan KPK ikut tanggung renteng kolektif kolegial atas dugaan pelanggaran kode etik Alex Marwata dalam melakukan penetapan tersangka Henri Alfiandi secara tidak sah. Pimpinan KPK seharusnya dan semestinya diduga telah memberikan persetujuan atas materi jumpa pers yang isinya mengumumkan penetapan tersangka Henri Alfiandi," katanya.
Atas dasar itu, MAKI menduga Alexander Marwata telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku Insan KPK yang diatur dalam Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan alasan pihaknya mengumumkan Kabasarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi menjadi tersangka.
Keputusan mengumumkan Henri itu menjadi persoalan karena pihak militer menyatakan status tersangka prajurit TNI hanya bisa diputuskan oleh penyidik militer.
Alex mengakui, dalam sprindik yang diberikan KPK, memang tidak ada nama dari pihak TNI.
Baca juga: Alexander Marwata Dilaporkan ke Dewas KPK Terkait Polemik Sprindik Kabasarnas Henri Alfiandi
Namun, pihaknya tetap menetapkan Henri dan bawahannya, Letkol (Adm) Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka suap karena secara materiil sudah jelas.
“Saya bilang secara substansi. Klarifikasi ketemu wartawan kan secara substansi dan materiil (memenuhi, red),” kata Alex saat ditemui awak media di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Senin (31/7/2023).
Alex menuturkan, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tersangka merupakan pihak yang diduga melakukan pidana berdasarkan kecukupan alat bukti.
Karena alat bukti sudah cukup, KPK menganggap secara substansi Kabasarnas dan anak buahnya layak menjadi tersangka.
Namun demikian, kata Alex, pihaknya tetap memahami bahwa secara administrasi Puspom TNI lah yang berwenang menerbitkan sprindik penetapan tersangka Kabasarnas dan Afri.
“Bukti-buktinya kan sama, buktinya sama. Entah itu dari transaksi keuangan, dari saksi-saksi pihak pemberi,” kata Alex.
Sebelumnya, KPK mengumumkan Kabasarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan orang kepercayaannya, Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka pada Rabu (26/7/2023).
Afri merupakan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas. Ia juga merupakan prajurit TNI Angkatan Udara (AU) berpangkat Letkol Adm.
Mereka diduga menerima suap hingga Rp88,3 miliar sejak 2021-2023 dari berbagai pihak. KPK juga menetapkan tiga pihak swasta sebagai tersangka.
Sebagian dari terduga penyuap itu adalah Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil.
Mereka memberikan uang sekitar Rp5 miliar kepada Henri melalui Afri karena ditetapkan sebagai pemenang lelang pengadaan peralatan di Basarnas.
Pengusutan dugaan korupsi di Basarnas diungkap ke publik setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7/2023).
Sementara itu, Henri menyatakan siap bertanggung jawab atas kebijakannya sebagai Kepala Basarnas.
Ia mengaku uang yang diterima melalui Afri bukan untuk kebutuhan pribadi melainkan kantor.
“Tujuannya memang untuk itu,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Dalam jumpa pers di Mabes TNI Cilangkap, pihak TNI menilai KPK tidak melakukan penetapan hukum Henri dan Afri tidak sesuai prosedur.
Pada Jumat (28/7/2023), pihak Puspom TNI menyatakan keberatan atas penangkapan dan penetapan tersangka tersebut.
Komandan Puspom (Danpuspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko menyatakan, pihak yang berwenang menetapkan tersangka dari pihak militer adalah penyidik militer.
Meski demikian, ia menyatakan akan melakukan penyidikan terbuka. Namun, penyidikan baru dimulai. Kepala Basarnas dan anak buahnya belum menyandang status tersangka.
Agung dan koleganya sesama pejabat tinggi di TNI juga mendatangi KPK untuk beraudiensi pada Jumat sore. Ujungnya, KPK menyampaikan permintaan maaf.
Kemudian, pada Jumat malam, pimpinan hingga pejabat struktural di KPK mendapat ancaman dan teror, termasuk kiriman karangan bunga berisi pesan nyinyir.
Setelah itu, Puspom TNI kemudian secara resmi mengumumkan Kepala Basarnas anak buahnya sebagai tersangka pada Senin (31/7/2023).