Anggaran Pendidikan Naik, Ketua Komisi X DPR: Pengangkatan Guru Honorer Harus Tuntas
Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2024 sebesar Rp 660,8 triliun. Jumlah ini meningkat 19,7%
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Erik S
Laporan Wartawan Tribunnews, Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Kenaikan anggaran pendidikan disambut hangat banyak kalangan. Dengan kenaikan anggaran ini diharapkan persoalan pengangkatan sejuta guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang tersendat-sendat segera tuntas.
“Kami tentu menyambut baik keputusan pemerintah menaikkan anggaran pendidikan di tahun 2024. Kami berharap Pemerintah mengalokasikan kenaikan anggaran tersebut untuk menuntaskan program pengangkatan sejuta guru honorer menjadi PPPK sehingga menjadi legacy terbaik pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Jumat (19/8/2023).
Baca juga: Komisi II DPR: Tak Ada PHK Massal Terhadap 2,3 Juta Tenaga Honorer
Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2024 sebesar Rp 660,8 triliun. Jumlah ini meningkat 19,7 persen dari outlook 2023 sebesar Rp 552,1 triliun.
Hal ini disampaikan Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato pengantar nota keuangan jelang Peringatan HUT ke-78 Kemerdekaan RI di Gedung DPR/MPR (16/8/2023).
Huda mengatakan pemerintah harus menjadikan penyelesaian pengangkatan guru honorer menjadi PPPK sebagai prioritas. Menurutnya jika persoalan guru honorer ini tuntas, maka pemerintah telah menyelesaikan satu persoalan dasar dari penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
“Persoalan kesejahteraan guru ini menjadi masalah klasik yang tak kunjung tuntas sejak puluhan tahun lalu. Persoalan ini memberikan dampak besar terhadap mutu dan kualitas peserta didik. Maka jika masalah kesejahteraan guru tuntas maka kita bisa lanjut menyelesaikan persoalan lain seperti penyempurnaan kurikulum hingga ketersediaan sarana prasarana penunjang pendidikan lainnya,” katanya.
Lebih jauh Huda menilai besaran anggaran pendidikan saat ini belum memberikan lompatan besar terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia saat ini. Situasi ini terjadi karena alokasi 20% APBN untuk pendidikan belum sepenuhnya untuk fungsi pendidikan.
“Sebagai gambaran dari alokasi Rp660,8 triliun lebih dari 50% anggaran dialokasikan dalam bentuk transfer ke daerah (TKD) yakni Rp346,6 triliun. Sementara 237 triliun untuk belanja pemerintah pusat yang terbagi untuk Kemendikbud Ristek dan Kementerian Agama, sisanya untuk dana abadi pendidikan sebesar Rp77 triliun,” urainya.
Politikus PKB ini menilai besaran alokasi dana pendidikan dalam bentuk TKD ini kerap tidak optimal untuk fungsi pendidikan karena beragam kepentingan dari para kepala daerah.
Para kepala daerah seringkali mempunyai visi yang berbeda dalam melihat prioritas kebutuhan penyelenggaraan pendidikan di wilayahnya.
“Contoh paling kongkret adalah bagaimana mereka memandang urgensi pengangkatan guru honorer menjadi PPPK. Ada kepala daerah yang melihat masalah ini harus segera dituntaskan, ada yang melihat belum terlalu urgen. Akibatnya persoalan ini menjadi berlarut-larut sampai saat ini,” tukasnya.
Kedepan, kata Huda dibutuhkan terobosan hukum agar pemerintah pusat mempunyai otoritas lebih besar dalam mengarahkan penyelenggaraan pendidikan di tanah air. Termasuk dalam memastikan 20% APBN benar-benar untuk fungsi pendidikan.
“Termasuk memberikan reward dan punishment bagi kepala daerah yang mendukung atau tidak mendukung program prioritas dalam penyelenggaraan pendidikan di tanah air,” pungkasnya.