Krisis Pangan Hantui Seluruh Negara di Tahun 2050, Simak Penjelasan BMKG
Kepala BMKG Dwikorta menyebut, ancaman krisis pangan semakin nyata dan menghantui banyak negara di dunia.
Penulis: Widya Lisfianti
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menyebut, ancaman krisis pangan semakin nyata dan menghantui banyak negara di dunia.
Hal tersebut, kata Dwikorta, sebagai akibat kencangnya laju perubahan iklim yang dilaporkan oleh World Meteorological Organization pada akhir 2022 lalu.
Dwikorta menjelaskan, Organisasi pangan dunia FAO juga meramalkan tahun 2050 mendatang, dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim sebagai konsekuensi dari menurunnya hasil panen dan gagal panen.
FAO memprediksi, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen dari stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Situasi ini akan terjadi di berbagai belahan dunia tanpa memandang negara tersebut besar, kecil, maju atau berkembang.
"Kerentanan pangan ini tidak lepas dari kenaikan suhu global yang akhirnya memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air sehingga menghasilkan water hotspot atau krisis air," ungkap Dwikorita dalam Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045 di Jakarta, dikutip dari laman BMKG, Rabu (23/8/2023).
Baca juga: Dituding Jadi Penyebab Krisis Pangan, India Klarifikasi Tidak Pernah Larang Ekspor Beras
Dwikorita memaparkan, seluruh negara di dunia saat ini mengalami dampak perubahan iklim dengan tingkat yang berbeda-beda, seperti cuaca ekstrem, bencana alam, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan muka air laut, krisis air, dan lain sebagainya.
Karenanya, perlu tindakan konkret seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia untuk menekan laju perubahan iklim ini.
"Ancaman krisis pangan di pertengahan abad ini perlu menjadi perhatian bersama, maka berbagai langkah pencegahan atau pengurangan risiko krisis tersebut, melalui upaya mitigasi dan adaptasi perlu lebih serius dan kongkrit digalakkan, agar prediksi krisis tersebut tidak sampai kejadian," imbuhnya.
Di Indonesia sendiri, lanjut Dwikorita, tren suhu rata-rata tahunan periode 1951-2021 mengalami peningkatan temperatur 0,15 derajat Celsius per 10 tahun, yang menandakan fenomena peningkatan suhu permukaan bahkan telah terjadi pula secara signifikan dan merata di Indonesia.
Dwikorita memaparkan pemanasan global memicu pergeseran pola musim dan suhu udara yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi.
Salah satunya adalah kejadian kekeringan akibat dipicu oleh El Nino seperti saat ini, bahkan diperparah dengan ulah manusia yang berujung pada kebakaran hutan dan lahan.
Akibatnya, dapat memicu makin meningkatnya emisi karbon dan partikulat ke udara.
(Tribunnews.com, Widya)