Pengamat: TNI Harus Beri Kompensasi ke Keluarga Korban Penganiayaan Oknum Paspampres
Menurut Reza masih ada empat pekerjaan rumah yang harus dilakukan TNI untuk menjaga nama baik institusinya.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel merespons kesigapan TNI yang menangkap oknum Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) Praka Riswandi Manik yang melakukan penganiayaan warga Aceh hingga tewas.
Hal ini seyogianya memang harus dilakukan untuk bisa mempertahankan marwah institusi TNI di hadapan publik.
Baca juga: Ibu Imam Masykur Akui Dapat Ancaman Paspampres hingga Dimintai Uang Tebusan Rp50 Juta
Menurut Reza masih ada empat pekerjaan rumah yang harus dilakukan TNI untuk menjaga nama baik institusinya.
Salah satunya adalah memberikan kompensasi kepada keluarga korban Imam Masykur (25).
Di samping pertanggungjawaban individual si pelaku, sebagaimana police misconduct compensation, sangat bagus jika Paspampres atau bahkan TNI juga memberikan kompensasi kepada keluarga korban.
Baca juga: Oknum Paspampres Aniaya Imam Masykur, Pimpinan TNI Diminta Serius Evaluasi Aspek Pembinaan Prajurit
"Sangat bagus jika Paspampres atau bahkan TNI juga memberikan kompensasi kepada keluarga korban kompensasi," kata Reza kepada wartawan Selasa (29/8/2023).
Menurutnya, para pelaku yang berstatus sebagai anggota TNI sudah sepatutnya disebut sebagai oknum.
Alasannya, perbuatan mereka bukan merupakan arahan lembaga.
"Setiap kali terjadi perbuatan pidana berat yang dilakukan oleh personel Polri, saya selalu katakan bahwa kejadian dimaksud seharusnya berdampak pula terhadap organisasi Polri. Polri, konkretnya, seharusnya memberikan kompensasi kepada keluarga korban," ungkap dia.
Kemudian, Reza menyinggung soal investigasi.
Lazimnya sesuai misi kejahatan maka pelaku sering kali melakukan segala upaya guna menghindari pertanggungjawaban pidana.
Misalnya menghilangkan barang bukti, merusak CCTV, membangun alibi, dan menghapus jejak-jejak kejahatannnya.
Namun berbeda pada kasus ini, para pelaku melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan misi kedua itu.
Para pelaku sengaja membuat rekaman penganiayaan tidak hanya untuk diperlihatkan ke keluarga korban, tapi juga untuk disodorkan ke pihak lain sebagai bukti bahwa mereka sudah 'bekerja'.
Baca juga: Oknum Paspampres Aniaya Imam Masykur, Pimpinan TNI Diminta Serius Evaluasi Aspek Pembinaan Prajurit
"Apakah para pelaku berada di bawah pengaruh narkoba? Apakah mereka merasa dilindungi pihak tertentu yang menjamin akan meniadakan pertanggungjawaban pidana?," ungkap Reza.
Ketiga, Resolusi Majelis Umum PBB 47/133.
Dari kasus ini media mengangkat diksi penculikan. Apalagi karena korban sampai meninggal dunia, penting untuk didalami, apakah penculikan dimaksud tergolong sebagai penculikan konvensional atau sudah termasuk dalam penghilangan orang secara paksa.
Sebagai catatan, PBB mengklasifikasi penghilangan orang secara paksa sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia.
"Terus terang, ada ingatan traumatis kolektif yang rawan terpicu bangkit kembali," ucap dia.
Keempat, non diskriminasi.
Reza pun mengapresiasi ketegasan Panglima TNI yang akan mengawal kasus ini agar pelaku dihukum berat, maksimal hukuman mati, minimal hukuman seumur hidup.
Namun pada kasus pidana lain, pernyataan Panglima TNI cenderung normatif.
Karena itu, agar tampak kesetaraan sikap Panglima terhadap seluruh personel TNI, pernyataan tentang hukuman yang patut dijatuhkan ke personel aktif TNI seyogianya juga Panglima eksplisitkan pada kasus korupsi Basarnas.