Cerita Anak DN Aidit Muak Dengar Ada Pihak yang Masih Kerap Menggoreng Isu PKI: Kepentingannya Apa?
Anak keempat DN Aidit, Ilham Aidit, bercerita bagaimana ia merasa muak dan sedih saat tahu masih ada pihak yang menggoreng isu tentang PKI.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Nanda Lusiana Saputri
"Di sini (Indonesia) Partai Komunis masih ada, komunis tak laku dijual secara internasional, iya. Tapi, di sini ada indikasinya jelas."
"Masih ada dan saya tahu data-datanya yang tidak saya bongkar di sini," lanjutnya.
Lalu, saat webiner online bertajuk TNI vs PKI yang digelar pada 26 September 2021, Gatot kembali menyinggung soal isu PKI.
Saat itu, Gatot menyebut TNI sudah disusupi oleh PKI.
Baca juga: Alami Diskriminasi Anak DN Aidit Dua Kali Gagal Jadi PNS
Tudingan itu dilontarkan Gatot usai diorama penumpasan G30 S di Museum Dharma Bhakti, Markas Kostrad, Jakarta, dihilangkan.
Ia lantas meminta kepada jajaran TNI agar bersih-bersih dari pengaruh PKI.
"Sudah ada penyusupan (PKI) di dalam tubuh TNI. Dalam kesempatan ini, saya mengetuk jiwa patriotisme dan ksatria TNI AD, TNI AL, TNI AU, bersama-sama membersihkan TNI dari pengaruh PKI," kata dia, Minggu (26/9/2023).
Terpisah, Jenderal Dudung Abdurachman yang saat itu masih menjabat sebagai Pangkostrad, membantah tudingan Gatot.
Ia menilai pernyataan Gatot tersebut merupakan tuduhan yang keji.
"Itu sama sekali tidak benar. Itu tudingan yang keji terhadap kami," kata Dudung.
Dudung menjelaskan, penghilangan diorama G30 S terjadi atas permintaan penggagasnya, yaitu Pangkostrad ke-34, Letjen TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution.
Ilham Aidit: Negara Masih Berutang Maaf
Efek domino G30 S masih dirasakan oleh warga negara Indonesia yang merupakan keturunan atau terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan PKI.
Laporan akhir dan rekomendasi Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM), telah mengategorikan peristiwa G30 S sebagai satu di antara 12 pelanggaran HAM berat.
Atas rekomendasi itu, pemerintah periode ini secara resmi mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk peristiwa pasca-30 September 1965.