Prof Ikrar: Gibran Tuna Etika, Harusnya Mundur!
Pernyataan Prof Ikrar ini berkaca dari proses putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres di perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hasanudin Aco
Samalah Adiknya juga demikian ya, Kaesang.
Anda lihat masuk partai hari ini dua hari kemudian dia bisa menjadi ketua umum partai PSI.
Jadi itu apakah itu menjadi contoh bagi anak-anak muda untuk kemudian berpolitik dengan cara-cara yang boleh dikatakan ya tidak santun. Seperti yang dikatakan Kaesang, tidak santai juga.
Bagaimana orang tiba-tiba karena anda menjadi anak presiden, makanya kemudian anda bisa menebas berbagai aturan termasuk juga aturan dalam rekrutmen politik di partai itu dan kemudian juga aturan mengenai tahapan-tahapan seseorang itu bisa menjadi ketua umum atau menjadi calon wakil presiden.
Melihat segi kepantasan Mas Gibran untuk kemudian menjadi seorang orang calon orang nomor dua di republik ini. Saya punya sudut pandang lain misalnya duet Pak Prabowo sama Mas Gibran ini kan unsur tua-muda, saling melengkapi misalnya atau Prof malah mengkhawatirkan ketika duet ini kemudian memimpin negeri ini. Ada kekhawatiran sosok Gibran mewakili Pak Jokowi dalam pemerintahannya akan dijalankan ke depan?*
Jadi begini, tadi saya katakan saya bukan anti anak muda, menjadi politisi atau menjadi calon wakil presiden, tapi yang saya persoalan itu adalah dia menjadi calon wakil presiden melalui suatu rekayasa hukum yang sudah terbukti yaitu ada pelanggaran besar, etik.
Kemudian apakah kemudian kita mau mengatakan, atau bisa mengatakan bahwa Gibran itu tuna etika, Kenapa karena dia tidak memiliki etika politik kalau udah tahu dia tahu dia maju menjadi calon wakil presiden melalui rekayasa hukum yang dilakukan oleh pamannya sendiri dan itu berarti apakah saya pantas menjadi calon wakil presiden.
Dan ini terjadi ketika Bapak saya menjadi presiden, Alapakah itu juga pantas bagi saya kemudian layak menjadi calon wakil presiden apalagi kemudian dia mengeluarkan kalimat sakti yang menurut banyak orang ‘Jangan khawatir Pak Prabowo, saya ada disini’.
Itu kan kalimat seolah-olah anak kecil mengajarkan Letjen Jenderal TNI yang berpangkat yang sudah pengalaman ketentaraannya cukup lama.
Yang kedua dia itu juga seakan-akan menganggap Pak Prabowo itu adalah orang yang sangat tergantung kepada dia atau berharap dia menjadi pelindung dia, makanya kemudian ‘Jangan takut Pak Prabowo, saya ada di sini, karena Bapak saya presiden, anda akan dibantu oleh bapak saya’.
Hal-hal semacam itulah yang terjadi relasi apa hubungan antara Prabowo dengan dengan Gibran, dan anda jangan lupa kalau kemudian Pak Jokowi berharap bahwa nanti kalau presiden berhalangan tetap, tetap anaknya akan otomatis menjadi presiden.
Yang ini saya katakan di sini jangan kemudian berharap nanti hubungan antara Jokowi dengan Prabowo itu seperti hubungan antara Presiden dengan Menteri.
Kenapa demikian, kalau nanti Pak Prabowo terpilih menjadi presiden bukan mustahil dia adalah Presiden Republik Indonesia yang enggak akan enggak akan tunduk kepada Jokowi yang sudah menjadi mantan presiden atau Presiden ke-7.
Gibran tidak akan bisa berbuat apa-apa, Kenapa demikian karena Prabowo akan bilang I’m in Power.
I have the otority. Saya punya otoritas, karena saya adalah presiden.
Bapakmu enggak bisa ngatur saya, kamu juga enggak bisa ngatur saya, karena saya lah apa namanya itu pemegang kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia.
Dan ini bukan mustahil terjadi mungkin di bawah satu tahun paling lama mungkin sebelum 6 bulan juga Prabowo enggak akan merasa posisinya itu adalah pemegang penuh kekuasaan negara, bukan Jokowi, bukan kemudian Gibran juga ya.
Dan dan jangan berharap Gibran kemudian akan diajukan oleh Prabowo menjadi calon presiden 5 tahun kemudian.
Kenapa ya karena di partai Gerinda juga banyak ini generasi-generasi muda yang sudah siap untuk menjadi calon presiden.
Bahkan di dalam keluarganya Prabowo juga banyak gitu anak-anak pintar anak-anak yang
sekolahannya cukup tinggi dan juga berpolitiknya juga sudah cukup lama, menjadi bagian dari Partai Gerindra.
Maksud saya di sini mendingan Prabowo ngambil dari kadernya sendiri ketimbang Gibran yang bukan kader dari partai Gerindra.
Demikian juga Partai Golkar juga suatu saat ya begitu, Jokowi sudah tidak lagi menjadi presiden, dia juga akan merasa oh anda kan Cuma anak titipan di sini, anda Cuma anak kos di sini.
Yang seharusnya saya bina atau pimpinan baru dipakai golkarnya akan mengatakan ‘harusnya saya membina kader-kader saya sendiri ketimbang anak kos atau anak titipan ini’.
Jadi itulah yang akan terjadi di dalam posisi Jokowi dengan dengan Prabowo dan juga Gibran dengan Prabowo dan juga antara Gibran sebagai sekarang dititipkan menjadi kader dari Partai Golkar yang memang sebenar-benarnya kader itu sendiri.
Kritikan Prof sangat keras sekali. Mas Gibran dianggap tuna etika. Ada pesan khusus kah yang ingin disampaikan ke Gibran?
Jadi begini, kenapa saya menggunakan kata tuna etika, ya kalau memang harusnya kalau memang dia menjadi calon pemimpin bangsa harus memiliki etika dan moral politik yang tinggi.
Dan kalau kemudian MKMK sudah menunjukkan bahwa pamannya itu melakukan pelanggaran etika berat, pelanggaran berat, etika. Harusnya dia ngerti dong ‘Oh berarti gua menjadi cawapres gara-gara ada pelanggaran berat di MK’.
Nah itu kalau dia memang beretika, dia memiliki moral politik yang tinggi, dia harus yang mundur sebagai anak muda yang punya masa depan politik yang masih panjang.
Jadi saya bukan kemudian menuduh tapi ini dari proses proses di Mahkamah Konstitusi, kemudian menjadi bagian dari penilaian dari mahkamah kehormatan MK dan kemudian keluar itu, makannya kemudian saya mengatakan kalau anda pinya etika, seharusnya mundur, karena anda memang tidak layak.
Memang pada saat itu seharuanya anda tidak lolos dari putusan MK tersebut, tapi karena sang Paman itu melakukan pelanggaran berat etika dan juga dianggap tidak independen, dianggap juga tidak profesional sebagai Hakim, makanya kemudian anda terpilih.
Nah kalau udh tau begitu cara-cara ini kan cara-cara yang tidak boleh, tidak adil, tidak mumpuni. Jadi kaya suatu seseorang menggunakan kata aji mumpung jadi wakil presiden.
Ketika sudah menjadi wakil presiden, apakah legitimasinya itu ada, walaupun nanti orang
mengatakan kan banyak orang yang memilih Prabowo dan Gibran. Persoalan legitimasi politik lebih penting.
Saya beri contoh, misalnya anda duduk disini sebagai seorang pimpinan di lembaga anda,
Tribunnews.
Anda menjadi posisi di sini bukan mustahil berangkat dari bawah dan diterima oleh anak buah anda sebagai orang yang dihormati, apa artinya itu, itu berarti anda punya legitimasi, baik legitimasi hukum sebagai pimred ataupun apa di Tribunnews, anda memiliki profesionalisme yang tinggi.
Makannya apapun kata anda, menjadi suatu kalimat yang otoritatif. Jadi apa yang menjadi perintah anda kalimat itu udah dianggap bahwa ya itu memang perintah dari anda itu merupakan perintah yang apa benar-benar bisa diterima oleh anak buah. Dan itulah seorang penguasa atau pimpinan itu kan punya pernyataan yang benar-benar otoritatif.
Dan kalau anda enggak punya legitimasi, enggak mungkin anda punya suatu hak yang kemudian diterima oleh banyak orang, bahwa kalimat anda itu sebetulnya benar-benar kalimat dari seorang yang punya power dan legitimasi ataukah itu hanya kalimat dari seorang yang punya power, tapi dia tidak legitimet. (Tribun Network/ Yuda).