JK Kritik Ide Penambahan Menteri Jadi 40 Lebih di Kabinet Prabowo-Gibran, Sebut soal Kabinet Politis
Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK) mengkritik rencana Prabowo menambah kementerian di kabinet Prabowo-Gibran yang dipimpinnya nanti.
Penulis: Faryyanida Putwiliani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK) memberikan kritikannya atas rencana penambahan kementerian atau menteri di kabinet Prabowo-Gibran nantinya.
Disebutkan jumlah menteri di kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin yang awalnya 34, rencananya akan ditambah oleh Prabowo menjadi lebih dari 40 kursi menteri.
Menanggapi hal tersebut, JK pun menilai bahwa itu bukanlah kabinet kerja lagi, tapi menjadi kabinet politis.
Karena kabinet tersebut disusun atas dasar untuk mengakomodasi partai pendukung di pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Ada juga (mengakomodasi partai pendukung). Tapi itu artinya bukan lagi kabinet kerja itu namanya, tapi kabinet yang lebih politis."
"Ya tentu lah kalau hanya dimaksud hanya mengakomodir politis kan," kata JK dilansir Kompas.com, Rabu (8/5/2024).
Lebih lanjut JK menuturkan, jika pada akhirnya Prabowo menambah jumlah kementerian, maka diperlukan perubahan di UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Diketahui UU Kementerian Negara ini berisikan tentang kedudukan, tugas, pokok, fungsi, hingga pembentukan Kementerian Negara.
JK menambahkan, orang-orang yang mengisi posisi menteri di kabinet Prabowo-Gibran nanti harus orang yang profesional di bidangnya.
Bukan hanya sekedar politisim tapi memang politisi profesional, sesuai dengan bidangnya masing-masing.
"Iya memang dulu dibagi dulu, ini kabinet kerja dibagi profesional dan yang biasa diisi oleh politisi, tapi politisi juga harus profesional sesuai bidangnya," imbuh JK.
Baca juga: Pakar Soroti Kabinet Prabowo-Gibran Akan Diisi 40 Menteri: Paling Penting Itu Penyederhanaan
Ketika ditanya soal jumlah kementerian yang ideal, JK menyabut itu semua bergantung pada program kerja pemerintahan itu sendiri.
Namun bagi JK, jumah 34 kementerian yang ada sekarang sudah ideal, sehingga tidak perlu ditambah lagi.
Meskipun dulu Indonesia pernah memiliki 100 menteri dalam satu kabinet, JK menilai 34 menteri yang sekarang sudah lah cukup.
"Pernah kita 100 menteri itu hanya politis amat, memberikan kesempatan semua orang tapi enggak bisa jalan. Artinya 34 okelah, dibandingkan negara lain juga sekitar,"
"Saya kira negara kesatauan jadi memang lebih besar menterinya dibandingkan federal, Amerika federal menterinya cukup 15, begitu juga negara-negara lain."
"Jadi tergantung kebutuhan lah, pemerintah itu, jadi jangan liat kementeriannya dulu, programnya apa. Kalau organisasinya membutuhkan 40 ya silakan, tapi kalau cukup 35-34 cukup, bisa digabung sebenarnya," terang JK.
Baca juga: Soal Susunan Kabinet, Jubir Prabowo Sebut Calon Menteri Profesional Juga Bisa Berasal dari Parpol
Ma'ruf Amin Ingatkan Pentingnya Menteri Kalangan Profesional
Wakil Presiden RI (Wapres) KH Maruf Amin turut memberikan masukan untuk pemerintahan mendatang yang akan dipimpin Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.
Prabowo dan Gibran akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada 20 Oktober 2024 setelah memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Pasangan senior dan junior itu akan memimpin Indonesia selama lima tahun mendatang menggantikan pemerintahan saat ini, Joko Widodo (Jokowi) - Maruf Amin.
Penyusunan kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran tengah digodok jelang pelantikan keduanya.
Maruf mengatakan, seyogyanya pimpinan negara Indonesia mendatang tetap memasukkan kalangan profesional atau zaken dalam kabinetnya.
Baca juga: Gibran Janji Kabinetnya Diisi Banyak Profesional, Soal Nama Eko Patrio Masuk Kabinet Enggan Komentar
"Sebab, dalam menjalankan tugas, menteri-menteri itu harus profesional," kata Wapres saat memberikan keterangan pers usai menghadiri Halalbihalal Idulfitri 1445 H Majelis Ulama Indonesia (MUI), di hotel kawasan Sudirman, Jakarta, Selasa (7/5/2024).
Lebih lanjut, Wapres menjelaskan, tokoh profesional tersebut dapat berasal dari kalangan partai politik ataupun non politisi.
Termasuk kata dia, masyarakat sipil maupun dari kalangan organisasi masyarakat (ormas).
"Cuma profesionalnya bisa dia merepresentasikan partai-partai politik, bisa juga yang lainnya. Nanti tergantung tentu negosiasinya," tukasnya.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Rizki Sandi Saputra)(Kompas.com/Adhyasta Dirgantara)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.