Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komisi I DPR Sebut Tayangan Jurnalistik Investigasi Dibutuhkan, Tapi Perlu Ada Pembatasan

Legislator PKS itu mengatakan berpendapat bahwa tayangan investigasi memang diperlukan untuk masyarakat banyak. 

Penulis: Reza Deni
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Komisi I DPR Sebut Tayangan Jurnalistik Investigasi Dibutuhkan, Tapi Perlu Ada Pembatasan
Tribunnews.com/ Mafani Fidesya Hutauruk
Anggota DPR RI Komisi I Sukamta. Sukamta menjelaskan latar belakang pengaturan soal larangan penayangan jurnalistik investigasi dalam draf terbaru Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, menjelaskan latar belakang pengaturan soal larangan penayangan jurnalistik investigasi dalam draf terbaru Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran.

Sukamta mengatakan adanya larangan tersebut untuk mencegah adanya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik dari media tertentu.

Baca juga: TB Hasanuddin Tegaskan DPR Tak Ada Niat Berangus Kebebasan Pers Lewat RUU Penyiaran

"Padahal setiap media penyiaran memiliki kesempatan untuk menyiarkan suatu konten," kata Sukamta kepada wartawan, Selasa (14/5/2024).

Legislator PKS itu mengatakan berpendapat bahwa tayangan investigasi memang diperlukan untuk masyarakat banyak. 

"Contohnya tayangan yang membongkar bisnis makanan atau minuman yang ternyata tidak sehat, atau tayangan yang membongkar praktik kejahatan yang banyak terjadi di masyarakat, seperti judi online, sindikat narkotika. Tayangan-tayangan seperti ini justru sangat edukatif dan berguna bagi masyarakat luas," kata Sukamta.

Baca juga: Hari Kebebasan Pers Sedunia 2024, Berikut Sejarah dan Tema Peringatannya

Lebih lanjut, Sukamta mencontohkan soal penayangan eksklusif dengan acara pesta yang digelar seorang publik figur.

Berita Rekomendasi

"Entah pernikahan atau ulang tahun, secara berkepanjangan, rasanya yang seperti ini tidak perlu, karena tidak edukatif, penayangan mestinya seperlunya saja, karena frekuensi penyiaran adalah hak publik," lanjutnya.

Tayangan jurnalistik investigasi, dikatakan Sukamta, dibutuhkan tetapi dengan batasan.

"Sehingga pelarangan yang dimaksud dalam draf revisi UU penyiaran itu maksudnya adalah perlu pembatasan," kata dia.

Sukamta lantas mendorong Komisi I DPR untuk kembali membahas kelanjutan penyusunan draf RUU Penyiaran bersama Dewan Pers dan pemerintah.

"Idealnya, UU Pers merupakan lex specialis, yaitu UU Pers yang bersifat khusus meniadakan UU bersifat umum," pungkas dia.

Sebelumnya, Revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran banyak mengalami penolakan, salah satunya datang dari Remotivi dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).

Revisi yang tengah berjalan ini dikhawatirkan mengancam kebebasan jurnalis hingga ruang digital.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas