Komisi I DPR Sebut Tayangan Jurnalistik Investigasi Dibutuhkan, Tapi Perlu Ada Pembatasan
Legislator PKS itu mengatakan berpendapat bahwa tayangan investigasi memang diperlukan untuk masyarakat banyak.
Penulis: Reza Deni
Editor: Muhammad Zulfikar
Tertulis dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran 2 Oktober 2023 bahwa cakupan wilayah penyiaran diperluas.
Bukan hanya penyiaran konvensional seperti TV dan radio, melainkan juga mencakup penyiaran digital.
Sebagai konsekuensi dari perluasan kewenangan KPI, maka platform digital seperti Netflix, Amazon Prime, Vidio, dan platform lainnya harus tunduk pada UU Penyiaran yang baru serta diatur oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
"Perubahan ini dinilai mengancam kebebasan pers penyiaran dan kreativitas di ruang digital," kata Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief, dalam konferensi pers via daring, Rabu (24/4).
Ia menjelaskan, memasukkan platform digital dalam definisi penyiaran membuat konten digital harus patuh pada aturan-aturan yang sama dengan aturan TV konvensional, padahal medium dan teknologinya berbeda.
"Ini tidak tepat karena platform digital memiliki logika teknologi yang berbeda dengan TV atau radio terestrial,” ujar Yovantra.
Kemudian hal yang disoroti adalah pasal 56 ayat 2 yang berisi larangan atas berbagai jenis
konten penyiaran, baik konvensional maupun digital. Larangan-larangan ini mencakup tayangan terkait narkoba, perjudian, rokok, alkohol, kekerasan, atau unsur mistik.
Beberapa jenis konten yang dilarang pundinilai multiinterpretasi sehingga rentan untuk digunakan secara semena-mena.
Larangan-larangan ini berpotensi mengekang hak publik untuk mendapat konten yang beragam.
Padahal di platform digital publik memiliki agensi lebih besar untuk memilih dan menyaring tontonan, berbeda dengan penyiaran konvensional.
"Revisi ini juga memuat larangan atas tayangan yang menampilkan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif, dan larangan atas rekayasa negatif informasi dan hiburan. Ketentuan ini sangat multitafsir, dan oleh karenanya berpotensi disalahgunakan," tambah Yovantra.
Konsekuensi lain dari perluasan revisi UU ini adalah kewajiban produk jurnalisme penyiaran untuk tunduk pada aturan Komisi Penyiaran Indonesia.
Hal ini dinilai dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan, karena selama ini produk jurnalisme diatur dan diawasi oleh Dewan Pers sebagaimana mandat Undang-Undang Pers.