KPK Tahan 2 Pegawai BUMN Amarta Karya di Kasus Korupsi Subkontraktor Fiktif yang Rugikan Rp 46 M
KPK menahan dua pegawai PT Amarta Karya (Persero) atau Amka terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan subkontraktor fiktif tahun 2018-2020.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua pegawai PT Amarta Karya (Persero) atau Amka terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan subkontraktor fiktif tahun 2018-2020.
Dua pegawai yang dilakukan penahanan masing-masing bernama Pandhit Seno Aji (PSA) dan Deden Prayoga (DP).
Keduanya jadi tersangka hasil pengembangan perkara dari mantan Direktur Utama PT Amarta Karya Catur Prabowo dan eks Direktur Keuangan PT Amarta Karya Trisna Sutisna.
Catur telah dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara. Sementara Trisna dihukum penjara lima tahun empat bulan.
"Dalam persidangan terdakwa Catur Prabowo dkk, terungkap adanya keterlibatan aktif dari pihak lain sehingga menguatkan adanya peran maupun kerja sama yang erat dan berakibat timbulnya kerugian keuangan dalam proyek pengadaan subkontraktor fiktif PT AK Persero termasuk ikut serta menikmati aliran sejumlah uang," kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (15/5/2024).
Baca juga: KPK Eksekusi Eks Direktur Keuangan PT Amarta Karya ke Lapas Sukamiskin
Untuk kebutuhan proses penyidikan, Pandhit dan Deden ditahan selama 20 hari pertama mulai 15 Mei 2024–3 Juni 2024 di Rutan Cabang KPK.
Konstruksi Perkara Rugikan Negara Rp 46 Miliar
Asep menjelaskan, Pandhit dan Deden merupakan orang kepercayaan dari Catur Prabowo. Mereka berdua diperintahkan dan ditugaskan untuk memenuhi berbagai kebutuhan pribadi dari Catur Prabowo.
Untuk merealisasikan perintah dimaksud, Pandhit dan Deden berkoordinasi dengan Trisna Sutisna.
"Dengan persetujuan Trisna Sutisna, PSA dan DP kemudian mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV yang akan dijadikan seolah-olah sebagai subkontraktor dari PT AK Persero untuk menerima pembayaran kerja sama subkontraktor PT AK Persero," kata Asep.
Baca juga: KPK Dalami Perintah Mantan Direktur Utama Amarta Karya ke Istri untuk Tukar Valas
Kemudian dibentuklah tiga CV sebagai subkontraktor fiktif di mana sebagai komisaris dan direkturnya adalah keluarga dari Pandhit dan Deden.
Selain itu, pekerjaan yang dicantumkan dalam dokumen pembayaran pekerjaan atas tiga CV tersebut adalah pekerjaan yang sudah selesai dilaksanakan maupun yang tidak pernah dilaksanakan.
Dikatakan Asep, pekerjaan proyek dari tahun 2018–2020, Amarta Karya mencairkan sejumlah dana untuk pembayaran subkontraktor fiktif ke tiga CV yang sepenuhnya atas sepengetahuan dan persetujuan dari Catur Prabowo dan Trisna Sutisna.
Untuk buku rekening bank, kartu ATM bank dan bonggol cek tertandatangan dari tiga CV dimaksud dikuasai dan dipegang Deden.
"Pencairan dan peruntukan uang menunggu perintah dari Catur Prabowo dan Trisna Sutisna. Didapati fakta, saat dilakukan pemeriksaan dari Satuan Pengawasan Intern PT AK Persero, terkait akses data maupun informasi ditutup aksesnya oleh PSA dan DP," ungkap Asep.
Asep mengungkap akibat korupsi ini RI mengalami kerugian keuangan negara hingga Rp46 miliar.
"Kerugian keuangan negara yang ditimbulkan sejumlah sekitar Rp46 miliar. Terdapat aliran uang dari proyek subkontraktor fiktif ini yang dinikmati PSA dan DP, sehingga tim penyidik masih akan melakukan penelusuran dan pendalaman," kata Asep.
Atas perbuatannya, Pandhit dan Deden disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.