Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Amnesty International Indonesia: Reformasi Putar Balik setelah 26 Tahun

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, memandang reformasi telah berjalan putar balik setelah 26 tahun.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Febri Prasetyo
zoom-in Amnesty International Indonesia: Reformasi Putar Balik setelah 26 Tahun
Tribunnews.com/Rahmat W Nugraha
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid di Tugu 12 Mei Trisakti, Jakarta Barat, Jumat (9/2/2024). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, memandang reformasi telah berjalan putar balik setelah 26 tahun.

Usman mengatakan hari ini Selasa (21/5/2024) menandai 26 tahun lahirnya era Reformasi yang menjadi sebuah tonggak penting dalam sejarah Indonesia. 

Namun, lanjut dia, kebebasan sipil yang diperjuangkan para mahasiswa dan masyarakat 26 tahun lalu kini kian terancam.

"Hal-hal yang diperjuangkan reformasi, seperti penegakan supremasi hukum, kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, dan penghormatan HAM, termasuk pengusutan kasus-kasus pelanggaran berat, kini terasa kian jauh dari jangkauan," kata Usman saat dikonfirmasi pada Selasa (21/5/2024).

"Reformasi putar balik. Alih-alih menjamin hak untuk mengkritik, dan mengontrol kebijakan, negara malah menyempitkan ruang sipil, mengabaikan cita-cita reformasi," sambung dia.

Menurutnya cara-cara represif yang lazim terjadi saat Orde Baru di antaranya intimidasi dan serangan atas hak berpendapat, berekspresi, dan berkumpul masih terjadi hingga kini.      

Berita Rekomendasi

Ia mencatat pada Senin 20 Mei 2024 sekelompok massa bernama Patriot Garuda Nusantara (PGN) menyerang dan membubarkan diskusi publik Forum Air Rakyat (PWF) yang digelar di Denpasar, Bali. 

Dalam video yang diperoleh Amnesty, kata dia, massa memaksa masuk dan membubarkan diskusi yang dituding sebagai forum tandingan World Water Forum yang digelar di Nusa Dua.

Massa yang menuding panitia diskusi melanggar imbauan Penjabat Gubernur Bali, kata dia, lalu merobek dan merampas atribut acara dan melakukan kekerasan kepada peserta forum.  

Ia mengatakan sumber kredibel Amnesty juga menyebutkan massa PGN sebelumnya telah beberapa kali datang dan meminta pembatalan PWF 2024. 

Baca juga: Amnesty International Kecam Tindakan Represif Polisi yang Sasar Mahasiswa dan Kampus di Makassar

Padahal, kata dia, PWF 2024 adalah forum masyarakat yang ditujukan sebagai ruang untuk mengawasi privatisasi air dan mendorong pengelolaan air untuk kesejahteraan rakyat.    

Sebelumnya, kata dia, aparat negara juga meminta pembatalan agenda PWF kepada panitia dan pengelola beberapa tempat yang sayangnya dengan cara-cara intimidasi. 

"Intimidasi dan kekerasan sering terjadi saat forum internasional digelar. Ini bukti negara tidak serius menjamin kebebasan. Kesan meminjam tangan-tangan massa nonnegara yang membenturkan demi mengamankan acara internasional juga kuat," kata Usman.  

"Kami mendesak Pemerintah menghentikan intimidasi dan kekerasan selama PWF 2024. Negara harus menjamin hak warga untuk berkumpul tanpa tekanan," sambung dia. 

Selain itu, ia memandang upaya pembungkaman kebebasan pers seperti pada masa Orde Baru kini juga dipraktikkan.

Terkini, kata dia, praktik tersebut adalah upaya mengkebiri kebebasan pers melalui Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.  

Menurutnya beberapa bagian draf RUU Penyiaran justru berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak publik atas informasi.

Ia mencontohkan Pasal 50B ayat (2) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, konten terkait LGBT+, konten terkait berita bohong, fitnah, hingga penghinaan dan pencemaran nama baik. 

"Ini semuanya bisa melanggar kebebasan pers dan melanggar HAM. Negara seharusnya menjamin pers yang independen, bukan dengan melarang informasi dari pers dan publik," kata Usman.

Ia juga berpendapat saat membiarkan kebebasan sipil kian tergerus, negara tampaknya juga masih tidak serius mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.  

Presiden Joko Widodo oada bulan-bulan akhir masa pemerintahannya, menurutnya, telah gagal memenuhi janji-janjinya untuk mengusut pelanggaran-pelanggaran HAM berat, termasuk 12 kasus yang diakuinya pada 2023 lalu.

Baca juga: Bobby Tunjuk Pamannya Jadi Plh Sekda Kota Medan, Amnesty International: Kita Memasuki Era Nepotisme

Peristiwa kerusuhan Mei 1998 khususnya perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dan pembakaran warga sipil, kata dia, hingga kini belum diusut tuntas. 

Menurutnya tragedi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota selama 13 sampai 15 Mei 1998 menimbulkan dampak serius bagi korban dan warga masyarakat secara luas dengan memakan korban lebih dari seribu jiwa. 

Namun, kata dia, pihak yang bertanggung jawab atas kerusuhan itu masih belum diusut tuntas.  

Selain itu, ia juga mencatat terjadinya kekerasan seksual yang sebagian besar ditujukan terhadap perempuan Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998.

Menurut catatan Amnesty International, kata dia, pada Juni 1998 Tim Relawan untuk Kemanusiaan merilis laporan yang mengklaim bahwa 168 perempuan yang sebagian besar di antaranya adalah etnis Tionghoa diperkosa dan/atau mengalami pelecehan seksual selama kerusuhan pada Mei 1998.  

"Pengungkapan kasus perkosaan massal ini masih samar. Apa yang terjadi? Siapa yang seharusnya bertanggungjawab? Selain merugikan korban secara fisik, kasus ini juga merusak kehormatan secara emosional dan psikologis," kata dia.   

"Pelaku kekerasan, pemerkosaan, dan pembakaran selama kerusuhan, terutama dalang-dalangnya, harus diadili. Kegagalan negara dalam mengusut kasus ini akan memperkuat ketidakadilan dan menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia bisa terjadi tanpa konsekuensi," sambung dia.

Menurut Usman hal tersebut tidak hanya merampas hak setiap individu untuk hidup aman, melainkan juga menciptakan rasa takut dan trauma yang berkelanjutan khususnya bagi warga Tionghoa.

Menurut Usman hingga kini, langkah konkret dari pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus-kasus tersebut masih belum terdengar.

Selain itu, kata dia, masih banyak pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat yang belum terpenuhi. 

Menurutnya situasi tersebut menebalkan kekhawatiran bahwa pemerintah selama ini tidak menunjukkan komitmen penuh dalam menyelesaikan kasus-kasus  pelanggaran HAM berat.

Baca juga: Laporan Tahunan Amnesty International Kritik ‘Standar Ganda’ Eropa

Ia mengatakan hal itu memperkuat kesan bahwa negara selama ini tidak menjadikan masalah HAM sebagai prioritas dibandingkan isu-isu lain.  

"Ketidakpastian dalam kelanjutan proses hukum dan non-hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat berpotensi memperpanjang penderitaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh para korban dan keluarga mereka," kata Usman.

"Negara tidak boleh mengesampingkan, apalagi menghentikan, proses yudisial dan non-yudisial terkait kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu selama para pelakunya masih melenggang bebas," sambung dia.  

Ia juga mendesak Kejaksaan Agung juga mengambil langkah konkret untuk segera menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM berat. 

Menurutnya, usaha penyelesaian nonyudisial juga tetap harus terus dilakukan, dan hak-hak korban serta keluarga mereka harus segera dipulihkan.  

"Ini merupakan langkah awal yang penting dalam menjunjung tinggi keadilan bagi para korban dan keluarga mereka," kata Usman. 
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas