5 Catatan Jika Pemerintah Jalankan Kebijakan Pemotongan Gaji Pekerja untuk Tapera
Menurut Anggota Komisi V DPR RI, pemerintah harus mempertimbangkan beberapa catatan dulu sebelum pada akhirnya menjalankan kebijakan ini.
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama menyampaikan catatan apabila kebijakan pemotongan gaji untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dilakukan.
Diketahui, Pemerintah memperbarui aturan mengenai iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), melalui revisi PP No. 25/2020 menjadi PP No. 21/2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 20 Mei 2024.
Menurut Suryadi, pemerintah harus mempertimbangkan beberapa catatan dulu sebelum pada akhirnya menjalankan kebijakan ini.
Pasalnya, kebijakan ini bisa saja berdampak luas bagi masyarakat.
“Oleh sebab itu FPKS perlu memberikan beberapa catatan agar adanya aturan ini memberikan manfaat seluas-luasnya bagi seluruh masyarakat,” ujar Suryadi akrab disapa SJP, Selasa (28/5/2024).
Catatan yang pertama, kata Suryadi, terkait golongan kelas menengah yang sudah memiliki rumah.
Misalnya bagi pekerja yang sudah telanjur membelinya atau dari warisan orang tua, tapi masih juga diwajibkan untuk ikut program ini.
“Dalam aturan PP No. 25/2020 (tidak direvisi) disebutkan bagi Peserta non-MBR, maka uang pengembalian Simpanan dan hasil pemupukannya dapat diambil setelah kepesertaan Tapera-nya berakhir, yaitu karena telah pensiun, telah mencapai usia 58 tahun bagi Pekerja Mandiri; meninggal dunia; atau tidak memenuhi lagi kriteria sebagai Peserta selama 5 tahun berturut-turut,” jelas Suryadi.
Fraksi PKS, lanjut SJP, mengusulkan golongan kelas menengah ini dapat dibantu untuk dapat membeli properti yang produktif seperti misalnya ruko dan sebagainya.
Sehingga akan semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas menengah.
“Fraksi PKS mendorong agar kelas menengah ini juga diperhatikan, di satu sisi, penghasilan mereka melebihi kriteria MBR, sehingga tidak dapat membeli hunian subsidi."
Baca juga: Soal Iuran Tapera, Pengamat Sebut Jokowi Berikan Beban Baru ke Pekerja
"Namun, di sisi lain, penghasilan mereka juga masih pas-pasan untuk membeli hunian nonsubsidi, sehingga akan semakin terbebani jika harus mencicil rumah sendiri tapi juga masih harus menyisihkan uang untuk Tapera”, ungkap Anggota DPR RI dari Dapil NTB 1 ini.
Menurut Suryadi, kelas menengah tanggung seperti Generasi Milenial dan Gen Z saat ini lebih khusus lagi diperhatikan.
“Impian mereka untuk punya rumah sendiri akan menjadi semakin sulit terwujud karena penghasilannya tak pernah cukup untuk mencicil KPR dan tidak mungkin harus menunggu lama pensiun atau berusia 58 tahun baru dapat membeli rumah,” jelas Suryadi.
Baca juga: Gaji Dipotong untuk Tapera, Anggota Komisi V DPR: Impian Pekerja Miliki Rumah Makin Sulit
Kedua, terkait Pekerja Mandiri yang pendapatannya tidak tetap, kadang cukup, kadang kurang, bahkan tidak ada penghasilan sama sekali.
“Tentunya iuran untuk Pekerja Mandiri ini perlu diatur oleh BP Tapera secara bijaksana dan perlu diklasifikasikan dengan baik agar tidak memberatkan para Pekerja Mandiri,” jelas Suryadi.
Yang ketiga, tambah Suryadi, terkait penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Terdapat Kepmen PUPR No. 242/KPTS/M/2020 yang mengatur batasan maksimal penghasilan MBR pada kelompok sasaran KPR Sejahtera, KPR SSB (Subsidi Selisih Bunga) dan SSM (Subsidi Bantuan Uang Muka), yaitu maksimal Rp 8 juta per bulan.
“(Menurutnya) hal ini perlu dikaji lebih dalam apakah batasan ini perlu ditingkatkan mengingat saat ini masih banyak rumah bersubsidi yang terbengkalai karena tidak diserap oleh masyarakat,” ujar Suryadi.
Keempat, pihaknya meminta adanya evaluasi terhadap pelaksanaan Tapera sejak tahun 2020 berdasarkan PP No. 25/2020, apakah Peserta Tapera yang MBR memang mengambil jatahnya untuk membeli rumah.
“Juga perlu dievaluasi apakah Peserta non-MBR yang sudah pensiun dan ingin mencairkan Tapera tidak mengalami prosedur yang rumit dan berbelit, terutama yang berdomisilinya di daerah,” terang Wakil Sekretaris Fraksi PKS ini.
Terakhir, bahwa proses pemupukan atau pengembangan dana Tapera ini harus diawasi secara ketat.
Sebelumnya, berdasarkan aturan ini, ada dua kategori Peserta Tapera, yaitu Pekerja dan Pekerja Mandiri.
Bagi pekerja yang berpenghasilan di bawah Upah minimum tidak wajib, tapi dapat menjadi Peserta.
Batas usianya minimal 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar.
Aturan soal pemotongan gaji karyawan untuk Tapera sebenarnya merupakan aturan sejak 2020.
Besaran Simpanan Peserta Tapera yang ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah Peserta Pekerja, yaitu 0,5 persen ditanggung oleh Pemberi Kerja dan 2,5 persen ditanggung oleh Pekerja itu sendiri.
Sedangkan Besaran Simpanan Peserta Tapera sebesar 3 persen Penghasilan untuk Peserta Pekerja Mandiri atau pekerja yang tidak bergantung pada Pemberi Kerja untuk mendapatkan Penghasilan, semisal petani, seniman, pedagang, atau ojol ditanggung sendiri secara penuh oleh Pekerja Mandiri.
Kata Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan kebijakan itu sudah melalui kajian dan kalkulasi dalam.
"Ya semua dihitung lah, biasa, dalam kebijakan yang baru itu pasti masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau enggak mampu, berat atau enggak berat," kata Jokowi setelah menghadiri Inaugurasi pengurus GP Ansor di Istora Senayan, Jakarta, Senin, (27/5/2024).
Menurut Jokowi, hal yang biasa apabila ada pro dan kontra pada setiap kebijakan yang baru diterbitkan pemerintah.
Termasuk, lanjut Jokowi, mengenai penerapan sistem jaminan kesehatan BPJS.
Memang awal kebijakan tersebut diterapan juga menuai pro dan kontra.
Namun, akhirnya bisa berjalan dan dapat dimanfaatkan masyarakat.
Kebijakan kebijakan seperti itu kata Jokowi baru akan dirasakan setelah berjalan.
"Hal seperti itu yang akan dirasakan setelah berjalan. Kalau belum biasanya pro dan kontra," jelas Jokowi.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani/Dennis Destryawan/Taufik Ismail