Mahfud MD Soroti Kejar Tayang Sederet Revisi UU: Indikasi Berbagi Kekuasaan & Kompensasi Kue Politik
Mahfud MD menilai langkah tersebut bisa jadi mengambil kesempatan untuk melakukan akumulasi kekuasaan untuk bekal pemerintahan yang baru.
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, mengomentari revisi UU MK, UU Penyiaran, UU Kementerian Negara, UU Kepolisian bahkan muncul wacana revisi UU TNI yang seperti kejar tayang dilakukan Pemerintah dan DPR RI.
Mahfud berpendapat, langkah tersebut bisa jadi mengambil kesempatan untuk melakukan akumulasi kekuasaan untuk bekal pemerintahan yang baru.
"Kita sebagai masyarakat bisa mengambil kesimpulan yang sederhana saja, ini sedang mengambil kesempatan untuk melakukan akumulasi kekuasaan yang akan dijadikan bekal kepada pemerintah baru nanti. Apa akumulasi kekuasaan itu? Tujuannya bagi-bagi kekuasaan, kompensasi kue politik bagi mereka yang dianggap berjasa atau untuk merangkul kembali," kata Mahfud ketika menjawab pertanyaan host pada podcast 'Terus Terang' di kanal YouTube Mahfud MD Official, Selasa (28/05/2024).
Menkopolhukam periode 2019-2024 itu menilai, walau langkah seperti itu bisa bagus dan bisa pula tidak, saat ini cara-cara seperti lebih banyak tidak bagusnya.
Sebab, cuma akan menimbulkan hal-hal lain yaitu tentang pengendalian oleh pemerintah terhadap kekuatan masyarakat sipil memberikan kritik konstruktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu dikarenakan semua sudah dipagari dengan Undang-Undang (UU). Mahfud merasa, itulah sebenarnya salah satu contoh proses rule by law, bukan rule of law.
Menurutnya, jika proses rule of law pemerintah bekerja berdasarkan hukum yang ada, proses rule by law justru kehendak-kehendak pemerintah diatur sedemikian rupa agar memiliki hukum yang mengikat.
Hal itu membuat pemerintahan yang berkuasa akan sulit dilawan atau sulit dibantah melalui struktur-struktur hukum yang tersedia. Kondisi itu sama seperti rencana perpanjangan usia TNI/Polri atau usulan UU lain yang dapat pula dilihat dalam kerangka yang sama.
Karenanya, Mahfud berpendapat, cukup wajar jika masyarakat sipil berprasangka negatif.
"Sangkanya begini, akan terjadi sentralisasi kekuasaan, mudah melakukan kontrol terhadap aktivitas dan kritik-kritik masyarakat sipil, mudah melakukan cincai. Maaf ini, kolaborasi antara penjahat dan pejabat korup, nanti ada orang jahat tinggal diatur saja, tidak usah, nanti pakai pasal itu saja, oh ini ada dasar hukumnya, oh ini dan seterusnya," ujar Mahfud.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 itu memberi contoh penerapan sentralisasi kekuasaan tersebut. MIsalnya, dilakukan dengan membungkam MK, membungkam hakim-hakim, lalu dibuat ada pejabat-pejabat memberikan penjelasan kalau sesuatu yang dilakukan penguasa itu telah benar sesuai aturan-aturan yang sebelumnya sudah dibuat.
Mahfud mengingatkan, selama ini sudah banyak pula peristiwa yang terkait aparat satu dan aparat lain yang menjadi backing kejahatan-kejahatan tertentu.
Sama dengan yang sedang ditangani aparat-aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri dan selalu ada dugaan-dugaan seperti itu.
Contoh yang sering terjadi tidak lain hilangnya satu kasus yang begitu besar sekalipun ada barang bukti.