Ombudsman Soroti Kebijakan Tapera, Dorong Regulasinya Diubah
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan salah satu hal yang pihaknya soroti perihal kewajiban iuran terhadap para pekerja.
Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyoroti kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang belakangan menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat khususnya para pekerja.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan salah satu hal yang pihaknya soroti perihal kewajiban iuran terhadap para pekerja baik Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun sektor swasta.
Baca juga: Edukasi Perencanaan Keuangan Lebih Diterima Masyarakat Ketimbang Program Tapera
"Persoalannya sederhana memang disitu sudah ada kata wajib. Nah ini yang harus dilihat apakah kata wajib ini sudah sesuai dengan penetapan Undang-Undang (UU)?," ucap Yeka di Kantor Ombudsman RI, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (14/6/2024).
Lebih lanjut Yeka juga mengatakan bahwa iuran yang dibebankan terhadap pekerja ini seperti mengadopsi kebijakan yang dilaksanakan pada BPJS Ketenagakerjaan.
"Alih-alih seperti itu desain Tapera ini mengikutiseperti BPJS Ketenagakerjaan, jadi BPJS ketenagakerjaan kan ada kewajiban dari pemberi pekerjaan dan ada iuran yang dipungut, nah persoalannya ada sosialisasi," jelasnya.
Baca juga: BP Tapera: Tidak Ada Hubungan Dana Peserta dengan Pembangunan IKN
Selain itu Yeka juga menyoroti perihal besaran iuran yang harus dibayarkan terhadap para pekerja tersebut.
Ia pun mencontohkan soal iuran yang pernah diterapkan pada kebijakan Tabungan Perumahan (Taperum) yang pernah digagas hingga tahun 2020 lalu.
Menurutnya iuran pada Taperum akan berbeda jika dibandingkan dengan kebijakan Tapera yang dimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2024.
"Kemarin (Taperum) iurannya Rp 10 ribu, apakah sekarang Rp 10 ribu? Tentu tidak kalau mengikuti angka 3 persen, bisa saja iurannya Rp 100 atau Rp 300 ribu," jelasnya.
"Anggap saja UMR Rp 6 juta, kalau diangka 3 persen berarti Rp 180 ribu, Rp 180 ribu kalau seseorang (pekerja) masih baru dikali 35 (tahun) berapa banyak, apakah itu akan mendapat perumahan?," sambungnya.
Menurut Yeka hal-hal seperti itu yang harus diuji terlebih dahulu oleh pemerintah.
Baca juga: YLKI: Penolakan Kebijakan Tapera Dari Masyarakat Makin Keras
Hanya saja Yeka menyayangkan bahwa regulasi dalam kebijakan Tapera itu belum sepenuhnya selesai karena belum adanya peraturan menteri yang dikeluarkan dalam kebijakan Tapera tersebut.
"Ini yang harus kita lihat sampe peraturan menterinya. Kalau memang memberatkan maka harus berubah, dan regulasi itu bisa berubah kalau memang menimbulkan keresahan di masyarakat," pungkasnya.