Tak Hanya Blokir Rekening, Pengamat Sarankan Sistem Pembayaran & Keuangan Judi Online Dipangkas
Maraknya, judi online berkorelasi positif dengan maraknya perdagangan opium di Golden Triangle.
Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Judi online (judol) yang berasal dari Kamboja dan Myanmar, disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan bisnis opium di Golden Triangle.
Maraknya, judi online berkorelasi positif dengan maraknya perdagangan opium di Golden Triangle.
"Cara menghancurkan judol sangatlah mudah karena judi online dan aktivitas bisnis lainnya, menjalankan prinsip bank follows the trade. Jika ingin menghancurkan aktivitas judol, hancurkan sistem pembayaran yang mendukungnya. Yakni, perbankan dan lembaga keuangan non-bank," kata pengamat sekaligus Presiden Direktur Centre for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri, Jakarta, Selasa (9/7/2024).
Baca juga: Banyak Buruh Kecanduan Judi Online: Dapat Tekanan Penagih Utang, Tiap Hari Gali Lubang Tutup Lubang
Selama ini, kata Deni, Bank Indonesia mempermudah izin pelaku judi online bertransaksi di perbankan. Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku pengawas perbankan, terkesan abai.
"Belakangan, untuk memerangi aktivitas judi online, OJK menginstruksikan bank untuk tidak hanya memblokir rekening, tapi juga mengembalikan keuntungan bank yang diperoleh dari transaksi tersebut," ungkapnya.
Pendirian layanan jasa pembayaran oleh pemilik judi online, kata dia, dapat dilihat sebagai strategi untuk memfasilitasi transaksi keuangan besar dan sering. Ini menjadi karakteristik umum dari industri judol.
Dengan memiliki layanan pembayaran sendiri, pemilik judol dapat mengurangi ketergantungan kepada penyedia layanan pembayaran eksternal yang mungkin memiliki batasan transaksi, atau biayanya mahal.
Baca juga: Serikat Pekerja: Banyak Buruh Terjerat Pinjol karena Kecanduan Judi Online
"Selain itu, punya sistem pembayaran internal, mereka dapat memiliki mengontrol yang lebih besar atas proses transaksi, termasuk kecepatan dan keamanan transfer dana," kata Deni.
Dari perspektif perbankan, lanjutnya, kerja sama dengan layanan pembayaran milik judol dapat menimbulkan risiko reputasi dan hukum. Mengingat judol sering kali berada dalam area abu-abu dari segi legalitas.
Bank mungkin melihat potensi keuntungan dari volume transaksi yang tinggi yang dihasilkan oleh industri ini. Oleh karena itu, bank harus melakukan penilaian risiko yang cermat dan memastikan bahwa mereka mematuhi semua peraturan yang berlaku sebelum bekerja sama dengan layanan pembayaran semacam ini.
Ke depan, kata dia, baik OJK maupun BI wajib melakukan audit investigasi terhadap lembaga keuangan bank dan non-bank yang diduga terkait judol yang hingga saat ini luput dilakukan terhadap lembaga keuangan secara rutin.
Audit investigasi khusus judol memungkinkan lembaga keuangan memeriksa kelemahan dalam sistem kontrol internal mereka, sehingga dapat mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi risiko terjadinya pelanggaran.
Untuk mencegah pemilik judol memiliki layanan jasa pembayaran, Deni mengusulkan sejumlah hal.
Pertama, peningkatan kerja sama antarlembaga pemerintah, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), OJK, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Penting untuk mengidentifikasi dan memblokir transaksi yang terkait dengan judi online.