Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

13 Catatan Kritis Guru Besar Hukum Pidana atas Draf RUU Polri & Kelakarnya yang Banjir Tepuk Tangan

Ia memberikan setidaknya 13 poin catatan kritis terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) atas Perubahan UU Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in 13 Catatan Kritis Guru Besar Hukum Pidana atas Draf RUU Polri & Kelakarnya yang Banjir Tepuk Tangan
Tribunnews.com/Gita
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof Harkristuti Harkrisnowo (blus cokelat) bersama Menko Polhukam Marsekal Hadi Tjahjanto dan Deputi III Kemenko Polhukam RI Sugeng Purnomo di sela acara Dengar Pendapat Publik RUU Perubahan Tentang UU TNI dan UU Polri di Hotel Borobudur Jakarta pada Kamis (11/7/2024). 

Namun, kata dia, negara belum memiliki UU penyadapan.

"Bahwa dalam berbagai UU ditemukan tentang penyadapan dan diberi kewenangan kepada Polisi, boleh-boleh saja. Tetapi bukan berarti boleh menyadap semuanya. Sekali lagi, kita belum punya UU penyadapan. Jadi kalau mau dirumuskan penyadapan dalam UU yang existing, jadi bukan mengacu pada perundang-undangan yang kita belum punya," kata dia.

Kelima, terkait dengan kewenangan dalam menjalankan diversi pada proses peradilan pidana anak.

Menurutnya, hal tersebut bermasalah karena ketentuan itu sebenarnya sudah diatur dalam ketentuan UU SPPA nomor 11 tahun 2012.

"Jadi, yang sudah ada pengaturannya di dalam UU lain menurut saya tidak perlu diulangi kembali, karena seakan-akan memperluas, padahal nggak juga. Tapi kalau anda tambahkan perluasan kewenangan polisi ya itu dipersepsi seperti itu," kata dia.

Keenam, terkait dengan teritorial polisi dalam menjalankan fungsi dan perannya pada ketentuan pasal 6 draf RUU Polisi.

Menurutnya, ketentuan tersebut sudah dirumuskan dalam KUHP Baru.

Berita Rekomendasi

"Jadi sudah ada dalam KUHP baru itu sudah dirumuskan apa yang menjadi teritorial Indonesia. Sehingga kalau dirumuskan lagi nanti akan membuat rancu. Jadi nggak usah lah. Sudah bagus seperti UU yang lama saja, dalam yurisdiksi Indonesia di mana hukum pidana bisa diberlakukan," kata dia.

Ketujuh, ketentuan yang memberi kewenangan kepada Polri dalam memberi rekomendasi pengangkatan PPNS atau penyidik lain sebelum diangkat oleh menteri yang bersangkutan.

Menurutnya, ketentuan tersebut akan menimbulkan resistensi dari kementerian atau lembaga lain.

"Jadi anda (Polisi) di atasnya. Ini menurut saya pasti akan menimbulkan resistensi dan tidak baik buat penegakan hukum kita. Kalau pelatihan, menurut saya itu memang kompetensi utama dari kepolisian melakukan pelatihan kepada calon-calon penyidik," kata di.

"Tapi kalau memberi rekomendasi, pertama menimbulkan resistensi, kedua memperpanjang red tape birokrasi (birokrasi berbelit). Jadi ini perlu dibatasi," sambung dia.

Kedelapan, kata dia, terkait dengan kewenangan Polisi dalam menerima hasil penyidikan dan atau penyidikan dari penyidik pegawai negeri sipil atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar.

Menurutnya, tidak masalah bila kewenangan polisi hanya untuk memberi surat pengantar.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas